Upaya Menjaga Kemurnian Islam,
Menyoal Tahdzir dan Norma-Normanya
Menyoal Tahdzir dan Norma-Normanya
Oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen
-hafidzahullah-
-hafidzahullah-
MUQODDIMAH
Empat
belas abad sudah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan
kita umat Islam. Semakin hari kemurnian ‘ajaran Islam’ semakin keruh akibat
tercemar ‘benda-benda asing” (baca: bid’ah dkk.). Ibarat suatu aliran sungai
yang telah ribuan kilometer meninggalkan mata airnya; berubah menjadi amat
keruh karena telah bercampur dengan sampah-sampah yang dicampakkan ke dalamnya
oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.
Jauh-jauh
hari, fenomena ini telah disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
« فإنه لا يأتي عليكم يوم أو زمان إلا والذي بعده شر منه حتى
تلقوا ربكم »
“Tidaklah
datang kepada kalian suatu hari atau suatu zaman melainkan sesudahnya lebih
buruk dari sebelumnya, hingga kalian berjumpa dengan Rabb kalian.”
Maka,
sudah merupakan suatu hal yang lazim, jika kita kaum muslimin dituntut untuk berusaha
memurnikan kembali ‘ajaran agama kita’, dan membersihkannya dari noda-noda yang
telah melekat lama di tubuhnya. Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama
dengan upaya tashfiyah (memurnikan).
Sebelum
menyibukkan diri dengan mentarbiyah (mendidik) umat, kita dituntut untuk
terlebih dahulu mentashfiyah ajaran yang di atasnya kita akan mendidik
umat ini. Jadi, metode yang tepat adalah tashfiyah dulu baru tarbiyah.
Di
antara upaya yang dilakukan oleh para ulama untuk meraih kembali beningnya
ajaran Islam; mempraktekkan metode tahdzir.
DEFINISI
TAHDZIR
Tahdzir adalah: memperingatkan umat dari kesalahan individu atau kelompok
dan membantah kesalahan tersebut; dalam rangka menasehati mereka dan mencegah
agar umat tidak terjerumus ke dalam kesalahan serupa.
DALIL
DISYARI’ATKANNYA TAHDZIR
Banyak
sekali dalil-dalil -baik dari al-Qur’an maupun sunnah- yang menunjukkan akan
disyari’atkannya tahdzir, jika dilakukan sesuai dengan norma-norma yang
digariskan syari’at.
Di
antaranya adalah firman Allah ta’ala,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah
orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran[3]: 104)
Ayat
di atas menjelaskan akan disyariatkannya amar ma’ruf nahi munkar, dan para
ulama telah menjelaskan bahwa tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk amar
ma’ruf nahi munkar.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Kalaupun dia (ahlul
bid’ah tersebut) tidak berhak atau tidak memungkinkan untuk dihukum, maka kita
harus menjelaskan bid’ahnya tersebut dan mentahdzir (umat) darinya,
sesungguhnya hal ini termasuk bentuk amar ma’ruf dan nahi munkar yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Hampir
sama dengan keterangan Ibnu Taimiyah di atas; penjelasan yang dibawakan oleh
Imam al-Haramain al-Juwaini rahimahullah didalam kitabnya al-Kafiah fi
al-Jadal.
Di
antara dalil disyari’atkannya tahdzir adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
« يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله؛ ينفون عنه تحريف الغالين,
وانتحال المبطلين, وتأويل الجاهلين »
“Agama
ini diemban di setiap zaman oleh para ulama; yang menyisihkan penyimpangan
golongan yang ekstrim, jalan orang-orang batil dan ta’wilnya orang-orang yang
jahil.”
Dan
masih banyak dalil lain yang menunjukkan akan disyari’atkannya tahdzir.
Bahkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mempraktekkan metode tahdzir
dalam kehidupannya; baik tahdzir terhadap individu maupun tahdzir
dari suatu kelompok tertentu.
Di
antara contoh praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir
suatu individu; tatkala beliau mentahdzir dari ‘nenek moyang’ Khawarij:
Abdullah bin Dzi al-Khuwaishirah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« إنه سيخرج من ضئضئي هذا قوم يقرؤون القرآن لا يجاوز حناجرهم
يمرقون من الدين كما يمرق السهم من الرمية »
“Akan
muncul dari keturunan orang ini; generasi yang rajin membaca al-Qur’an, namun
bacaan mereka tidak melewati kerongkongan (tidak memahami apa yang mereka
baca). Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah yang menancap di tubuh
buruan lalu melesat keluar dari tubuhnya.”
Adapun
praktek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mentahdzir dari
suatu kelompok yang menyimpang, antara lain tatkala beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mentahdzir umat dari sekte Khawarij dalam sabdanya
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« شر قتلى قتلوا تحت أديم السماء وخير قتيل من قتلوا كلاب أهل
النار »
“Mereka
adalah seburuk-buruk orang yang dibunuh di muka bumi. Dan sebaik-baik orang
yang terbunuh adalah orang yang terbunuh ketika memerangi anjing-anjing
penghuni neraka.”
Juga
tahdzir beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sekte Qodariyyah dalam
sabdanya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إن مجوس هذه الامة المكذبون بأقدار الله، إن مرضوا فلا تعودوهم، وان
ماتوا فلا تشهدوهم
“Sesungguhnya
umat Islam yang menyerupai orang-orang Majusi adalah mereka yang mendustakan
takdir Allah. Janganlah kalian menjenguk mereka tatkala sakit dan janganlah
bertakziyah tatkala mereka meninggal.”
PRAKTEK
ULAMA DALAM MENERAPKAN METODE TAHDZIR
Para
ulama Ahlus Sunnah telah menjelaskan bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah dan
membantah mereka merupakan amalan yang disyari’atkan di dalam agama Islam dalam
rangka menjaga kemurnian agama Islam dan menasihati umat agar tidak terjerumus
ke dalam kubang bid’ah tersebut.
Di
antara keterangan tersebut, perkataan Imam al-Qarafi rahimahullah,
“Hendaknya kerusakan dan aib ahlul bid’ah serta pengarang buku-buku yang
menyesatkan dibeberkan kepada umat, dan dijelaskan bahwa mereka tidak berada di
atas kebenaran; agar orang-orang yang lemah berhati-hati darinya sehingga tidak
terjerumus ke dalamnya. Dan semampu mungkin umat dijauhkan dari
kerusakan-kerusakan tersebut.”
Imam
Ahmad rahimahullah pernah ditanya, “Mana yang lebih engkau sukai;
seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf atau mengkritik ahlul bid’ah? Beliau
menjawab, “Kalau dia shalat, puasa dan i’tikaf maka manfaatnya hanya untuk dia
sendiri, namun jika dia mengkritik ahlul bid’ah maka manfaatnya bagi kaum
muslimin, dan ini lebih utama!.”
Dan
masih banyak perkataan-perkataan ulama Ahlus Sunnah yang senada. Berikut ini
akan kami bawakan beberapa contoh praktek nyata para ulama kita dari dulu
sampai sekarang dalam menerapkan metode tahdzir -baik tahdzir terhadap
individu maupun terhadap kelompok tertentu-; supaya kita paham betul bahwa
metode tahdzir adalah metode yang ashli (orisinil) dan bukan metode
bid’ah yang diada-adakan di zaman ini:
1. Abdullah
bin Umar radhiyallahu’anhuma (wafat thn 73 H) ketika beliau mentahdzir
dari sekte Qadariyah dengan perkataannya, “Beritahukanlah kepada mereka
bahwa aku berlepas diri dari mereka, dan mereka berlepas diri dariku.”
2. Imam
al-Bukhari rahimahullah (w. 256 H) ketika beliau mentahdzir
dari sekte Jahmiyyah dalam kitabnya: “Khalq Af’al al-’Ibad wa ar-Radd ‘ala
al-Jahmiyyah wa Ashab at-Ta’thil.”
3. Imam
ad-Darimi rahimahullah (w. 280 H) ketika beliau mentahdzir
dari Bisyr al-Mirrisi dalam kitabnya: “Naqdh Utsman ad-Darimi ‘ala
al-Mirrisi al-Jahmi al-’Anid fima Iftara ‘ala Allah fi at-Tauhid.”
4. Imam
ad-Daruquthni rahimahullah (w. 385 H) ketika beliau mentahdzir
dari ‘Amr bin ‘Ubaid -gembong sekte Mu’tazilah di zamannya- dalam kitabnya “Akhbar
‘Amr bin ‘Ubaid bin Bab al-Mu’tazili.”
5. Imam
Abu Nu’aim al-Ashbahani rahimahullah (w. 430 H) ketika beliau mentahdzir
dari sekte Rafidhah dalam kitabnya “Al-Imamah wa ar-Radd ‘ala ar-Rafidhah.”
6. Abu
Hamid al-Ghazali rahimahullah (w. 505 H) ketika beliau mentahdzir
dari sekte al-Bathiniyyah dalam kitabnya “Fadha’ih al-Bathiniyyah.”
7. Imam
Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah (w. 620 H) ketika beliau mentahdzir
dari Abu al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil -salah seorang tokoh sekte Mu’tazilah- dalam
kitabnya “Tahrim an-Nadzar fi Kutub al-Kalam.”
8. Imam
Ibnu Taimiyah rahimahullah (w. 728 H) ketika beliau mentahdzir
dari al-Bakri -salah seorang tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Al-Istighatsah
fi ar-Radd ‘ala al-Bakri.”
9. Imam
Ibnu al-Qayyim rahimahullah (w. 751 H) ketika beliau mentahdzir
dari sekte Jahmiyyah dan golongan Mu’athilah dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq
al-Mursalah ‘ala al-Jahmiyyah wa al-Mu’athilah.”
10. Ibnu
Hajar al-Haitami rahimahullah (w. 974 H) ketika beliau mentahdzir
dari sekte Rafidhah dan orang-orang Zindiq dalam kitabnya “Ash-Shawa’iq
al-Muhriqah ‘ala Ahl ar-Rafdh wa adh-Dhalal wa az-Zandaqah.”
11. Nuruddin
bin Muhammad ar-Raniri rahimahullah (wafat. 1054 H) ketika mentahdzir
dari Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani yang menyebarkan paham wihdatul
wujud di Indonesia. Bahkan beliau mengeluarkan fatwa kafirnya penganut
paham tersebut.
12. Imam
Abdul Lathif bin Abdurrahman Alu Syaikh rahimahullah (w. 1292 H)
ketika beliau mentahdzir dari Dawud bin Jarjis -salah satu pembesar sufi
di zaman itu- dalam kitabnya “Minhaj at-Ta’sis wa at-Taqdis fi Kasyf
Syubuhat Dawud bin Jarjis.”
13. Syaikh
Ahmad Khothib al-Minangkabawi rahimahullah (w. 1334 H) ketika beliau
mentahdzir dari tarekat Naqsyabandiyyah dalam kitab-kitabnya: “Izh-har
Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabuhihim bi ash-Shodiqin“, “As-Saif al-Battar
fi Mahq Kalimat Ba’dh al-Aghrar” dan “Tanbih al-Ghafil bi Suluk Thariqah
al-Awa’il“
14. Imam
Abu al-Ma’ali al-Alusi rahimahullah (w. 1342 H) ketika beliau mentahdzir
dari an-Nabhani -salah satu tokoh sufi di zaman itu- dalam kitabnya “Ghayah
al-Amani fi ar-Radd ‘ala an-Nabhani.”
15. Al-’Allamah
Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah (w. 1376 H) ketika beliau mentahdzir
dari Abdullah al-Qashimi -salah satu tokoh yang terpengaruh pemikiran sekuler
di zaman itu- dalam kitabnya “Tanzih ad-Din wa Hamalatih wa Rijalih mimma
Iftarah al-Qashimi fi Aghlalih.”
16. Al-’Allamah
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah (w.1420 H) ketika beliau mentahdzir
Muhammad Zahid al-Kautsari dan Abdul Fattah Abu Ghuddah -pembawa bendera sekte
Jahmiyyah abad ini- ketika beliau menulis kata pengantar buku Syaikh Dr. Bakr
Abu Zaid rahimahullah yang berjudul “Baro’ah Ahlu as-Sunnah min
al-Waqi’ah fi ‘Ulama al-Ummah”
17. Al-’Allamah
al-Albani rahimahullah (w. 1420 H) ketika beliau mentahdzir
dari Hasan Abdul Mannan dalam kitabnya “An-Nashihah bi at-Tahdzir min
Takhrib Ibn Abdil Mannan li Kutub al-A’immah ar-Rajiihah wa Tadh’ifih li Mi’aat
al-Ahadits ash-Shahihah.”
18. Al-’Allamah
Abdul Muhsin al-’Abbad hafidzahullah ketika beliau mentahdzir
dari ar-Rifa’i dan al-Buthi -tokoh-tokoh yang membenci dakwah salafiyah- dalam
kitabnya “Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i wa al-Buthi fi Kadzibihima ‘ala Ahl
as-Sunnah wa Da’watihima Ila al-Bida’ wa adh-Dhalal.”, juga ketika beliau
mentahdzir dari penamaan situs “Islam Today” dan tulisan DR.
Salman al-’Audah yang berjudul “If’al wa La Haraj” dalam kitab
beliau “Tanbihat fi al-hajj ‘ala al-Kitabah al-Musammah If’al wa La Haraj“
19. Syaikh
Dr. Bakr Abu Zaid rahimahullah ketika beliau mentahdzir dari
Muhammad bin Ali ash-Shabuni -salah satu tokoh sekte Asy’ariyyah abad ini-
dalam kitabnya “At-Tahdzir min Mukhtasharat Muhammad bi Ali ash-Shabuni fi
at-Tafsir.”
20. Syaikh
Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir
dari Sayyid Quthb -salah satu tokoh pergerakan Islam yang mengkafirkan umat
Islam secara keseluruhan dan mencela beberapa sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam- dalam kitabnya “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab
Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
21. Syaikh
Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafidzahullah ketika
beliau mentahdzir dari Hasan as-Segaf -salah satu tokoh sekte Jahmiyah
abad ini- dalam kitabnya “Al-Qaul as-Sadid fi ar-Radd ‘ala Man Ankara Taqsim
at-Tauhid.”
19. Syaikh
Salim bin ‘Ied al-Hilali hafidzahullah ketika beliau mentahdzir
dari kelompok-kelompok pergerakan abad ini yang memiliki
penyimpangan-penyimpangan, dalam kitabnya “Al-Jama’at al-Islamiyyah fi
Dhau’i al-Kitab wa as-Sunnah bi Fahm Salaf al-Ummah.”
Dan
masih ada puluhan bahkan mungkin ratusan contoh praktek nyata para ulama kita
-tempo dulu maupun di zaman ini- dalam menerapkan metode tahdzir ini.
TUJUAN
TAHDZIR
Sebagian
orang mengira bahwa mentahdzir dari ahlul bid’ah tidak sejalan dengan
sifat waro’. Mereka tidak sadar bahwa para ulama Ahlus Sunnah sekaliber Imam
asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibn al-Mubarak, Imam Sufyan ats-Tsauri dan yang
lain, mereka juga tidak jemu-jemu untuk senantiasa mentahdzir umat dari
ahlul bid’ah. Padahal siapa di antara kita yang tidak mengenal tingginya
tingkat ketaqwaan dan derajat kewaro’an mereka?
Barangkali
orang-orang tersebut belum mengetahui rahasia besar yang mendorong para ulama
kita untuk menerapkan metode ini. Di antara hal-hal yang mendorong penerapan
metode ini:
1.
Besarnya ‘Panah beracun’ yang melesat dari bid’ah mengenai secara langsung ke
dalam hati dan merusaknya. Jika hati seorang muslim telah rusak, maka dampaknya
akan sangat besar terhadap lahiriyahnya.
2.
Banyak di antara kaum muslimin yang tidak mengetahui akan keburukan ahlul
bid’ah karena mereka menampakkan keshalihan di hadapan umat. Dan ini amat
berbahaya bagi kaum muslimin, karena kenyataannya betapa banyak di antara
mereka yang terjerumus ke dalam bid’ah gara-gara tertipu dengan ‘penampilan’
pengusungnya.
3.
Sedikitnya para ulama yang mengetahui bahaya bid’ah dan perinciannya serta
berani dan mampu untuk mengupas penyimpangan ahlul bid’ah dengan terperinci,
membongkar syubhat-syubhat mereka dan memberantasnya. Maka budaya tahdzir
ini perlu untuk dihidupkan dengan norma-norma yang digariskan oleh agama kita.
Tahdzir adalah merupakan salah satu bentuk kasih sayang kepada orang yang
keliru dan umat. Memang pahit rasanya bagaikan obat, namun jika kita bersabar
untuk ‘menelannya’ niscaya, cepat ataupun lambat, kita akan merasakan manisnya
‘kesehatan’ yang kita dambakan.
Akan
tetapi perlu diperhatikan bahwa tatkala agama Islam mensyariatkan tahdzir,
agama Islam juga telah menggariskan norma-norma tahdzir, agar tidak
timbul penerapan tahdzir yang membabi buta yang tidak selaras dengan
ajarannya.
NORMA-NORMA
TAHDZIR
Tatkala
agama Islam telah menjelaskan disyari’atkannya tahdzir, agama kita pun juga
telah menjelaskan norma-normanya. Di antara norma-norma tersebut, apa yang
dijelaskan oleh Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah
1.
Pengingkaran itu harus dilakukan dengan penuh rasa ikhlas dan niat yang
tulus semata-mata dalam rangka membela kebenaran. Di antara konsekwensi ikhlas
dalam masalah ini, adalah berharap agar orang yang terjatuh ke dalam kesalahan
mendapatkan hidayah dan kembali kepada al-haq. Dan hendaknya pengingkaran
tersebut juga diiringi dengan doa kepada Allah agar dia mendapat petunjuk-Nya.
Apalagi jika ia termasuk golongan Ahlus Sunnah, ataupun kaum muslimin lainnya.
Dahulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendoakan sebagian orang
kafir agar mendapatkan petunjuk, bagaimana halnya jika orang yang bersalah
berasal dari kaum muslimin yang bertauhid?! (Tentunya dia lebih berhak untuk
didoakan).
2.
Hendaknya bantahan tersebut dilakukan oleh seorang alim yang telah mumpuni
ilmunya; mengetahui secara detail segala sudut pandang dalam materi
bantahan, entah yang berkaitan dengan dalil-dalil syari’at yang menjelaskannya
serta keterangan para ulama, maupun tingkat kesalahan lawan, serta sumber
munculnya syubhat dalam dirinya, plus mengetahui keterangan-keterangan para
ulama yang membantah syubhat tersebut.
Hendaklah
orang yang membantah juga memiliki kriteria: kemampuan untuk mengemukakan
dalil-dalil yang kuat tatkala menerangkan kebenaran dan mematahkan syubhat.
Memiliki ungkapan-ungkapan yang cermat, agar tidak dipahami dari perkataannya
kesimpulan yang tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Atau bisa juga
tahdzir itu dilakukan oleh thalibul ‘ilm yang menukil perkataan
para ulama, dan dia cermat dalam menukil serta memahami apa yang ia
nukil. Jika tidak memenuhi kriteria-kriteria di atas niscaya yang akan timbul
adalah kerusakan yang besar.
3.
Hendaklah tatkala membantah, ia memperhatikan: perbedaan tingkat kesalahan,
perbedaan kedudukan orang yang bersalah baik dalam bidang keagamaan maupun
sosial, juga memperhatikan perbedaan motivasi pelanggaran; apakah karena
tidak tahu, atau hawa nafsu dan keinginan untuk berbuat bid’ah, atau mungkin
cara penyampaiannya yang keliru dan salah ucap, atau karena terpengaruh dengan
seorang guru dan lingkungan masyarakatnya, atau karena ta’wil, atau karena
tujuan-tujuan lain di saat ia melakukan pelanggaran syari’at. Barang siapa yang
tidak mencermati atau memperhatikan perbedaan-perbedaan ini, niscaya ia akan
terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) atau sebaliknya
(kelalaian/penyepelean), yang mana ini semua akan berakibat tidak bergunanya
perkataan dia atau paling tidak manfaatnya akan menjadi kecil.
4.
Hendaklah ia senantiasa berusaha mewujudkan maslahat yang disyariatkan
dari bantahan tersebut. Jika bantahan tersebut justru mengakibatkan kerusakan
yang lebih besar dibanding dengan kesalahan yang hendak dibantah, maka tidak
disyariatkan untuk membantah.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah menerangkan (suatu kaedah penting), “Tidak dibenarkan
menghindari kerusakan kecil dengan melakukan kerusakan yang lebih besar, juga
tidak dibenarkan mencegah kerugian yang ringan dengan melakukan kerugian yang
lebih berat. Karena syariat Islam datang dengan tujuan merealisasikan maslahat
dan menyempurnakannya, juga melenyapkan kerusakan dan menguranginya sedapat
mungkin. Pendek kata, jika tidak mungkin untuk memadukan antara dua kebaikan,
maka syariat Islam (mengajarkan untuk) memilih yang terbaik. Begitu pula halnya
dengan dua kerusakan, jika tidak dapat dihindari kedua-duanya, maka kerusakan
terbesarlah yang harus dihindari”. (Al-Masa’il al-Mardiniyah, hal.
63-64).
5.
Hendaknya bantahan disesuaikan dengan tingkat tersebarnya kesalahan
tersebut. Sehingga jika suatu kesalahan hanya muncul di suatu daerah atau
sekelompok masyarakat, maka tidak layak bantahannya disebarluaskan ke daerah
lain atau kelompok masyarakat lain yang belum mendengar kesalahan tersebut,
baik penyebarluasan bantahan itu dengan menerbitkan buku, kaset maupun dengan
menggunakan media-media lain. Karena menyebarluaskan suatu bantahan atas
kesalahan, berarti secara tidak langsung juga menyebarluaskan pula kesalahan
tersebut.
Bisa
jadi ada orang yang membaca atau mendengar suatu bantahan, akan tetapi
syubhat-syubhat (kesalahan itu) masih membayangi hati dan pikirannya, juga
tidak merasa puas dengan bantahannya. Jadi, menghindarkan masyarakat dari
mendengarkan kebatilan, adalah lebih baik daripada memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mendengarkan kebatilan lalu memperdengarkan kepada mereka
bantahannya. Para salaf senantiasa mempertimbangkan norma ini dalam
bantahan-bantahan mereka. Banyak sekali kita dapatkan kitab-kitab mereka yang
bertemakan bantahan, tapi di dalamnya mereka hanya menyebutkan dalil-dalil yang
menjelaskan al-haq, yang merupakan kebalikan dari kesalahan tersebut, tanpa
meyebutkan kesalahan itu. Tentu ini membuktikan akan tingkat pemahaman mereka
yang belum dicapai oleh sebagian orang yang hidup di zaman ini.
Pembahasan
yang baru saja diutarakan -yang berkaitan dengan menyebarkan bantahan di daerah
yang belum terjangkiti kesalahan-, sama halnya dengan pembahasan tentang
menyebarkan bantahan di tengah-tengah sekelompok orang yang tidak mengetahui
kesalahan itu, walaupun ia tinggal di daerah yang sama. Maka tidak seyogyanya
menyebarkan bantahan -baik melalui buku maupun kaset- di tengah-tengah
masyarakat yang tidak mengetahui atau mendengar adanya kesalahan tersebut.
Betapa
banyak orang awam yang terfitnah dan terjatuh ke kubang keraguan terhadap
dasar-dasar agama, akibat membaca buku-buku bantahan yang tidak dapat dipahami
oleh akal pikiran mereka.
6. Hukum
membantah pelaku suatu kesalahan adalah fardhu kifayah, sehingga bila telah
ada seorang ulama yang melaksanakannya, tujuan syariat telah terealisasi dengan
bantahan dan peringatan darinya. Maka tanggung jawab (kewajiban) para ulama
yang lain telah gugur. Hal ini telah dijelaskan oleh para ulama dalam
pembahasan hukum fardhu kifayah.
SEBUT
NAMA ATAU TIDAK KETIKA MENTAHDZIR?
Di
antara faktor yang mendorong seorang da’i untuk terang-terangn menyebutkan nama
kelompok atau individu yang ditahdzir, adalah jika umat yang dihadapinya
tidak mengerti dan tidak paham apa dan siapa yang dimaksud, jika sang da’i
tidak terang-terangan.
Namun
jika umat telah mengerti siapa sebenarnya yang dimaksud dalam bantahan
tersebut, dan justru pengidentifikasian terang-terangan oknum yang ditahdzir
akan berakibat umat tidak menerima al-haq yang disampaikan, maka saat itu cukup
bagi seorang da’i menyampaikan jenis kesalahan kelompok atau individu yang
dimaksud beserta bantahannya, tanpa terang-terangan menyebutkan nama kelompok
atau individu tersebut.
Dan
memang hukum asal cara mentahdzir adalah dengan tidak menyebutkan
terang-terangan nama yang ditahdzir. Sebagaimana praktek Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika akan menjelaskan kesalahan sebagian orang, dengan
perkataan beliau,
ما يال أقوامٍ قالوا كذا وكذا
“Mengapa
ada sebagian orang berkata ini dan itu?”
Ini
adalah hukum asalnya, namun jika dibutuhkan untuk terang-terangan menyebutkan
nama yang ditahdzir, itupun tidak mengapa, sebagaimana praktek
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أما أبو جهمٍ فلا يضع عصاه عن عاتقه، واما معاوية فصعلوك لا مال
له
“Adapun
Abu Jahm maka dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka
memukul) sedangkan Mu’awiyah maka dia adalah orang yang miskin yang tidak punya
harta.”
Syaikh
al-‘Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Hendaknya
yang menjadi tujuan adalah menjelaskan kebenaran dan kebathilan, tanpa perlu
menyebutkan nama orang yang dinukil, kecuali dalam kondisi darurat yang
mengharuskan penyebutan orang tersebut.”
Syaikh
al-‘Allamah Muhammad al-‘Utsaimin rahimahullah memberikan ketrangan
serupa: “Menyebutkan individu hukumnya boleh dalam kondisi darurat, jika tidak,
maka yang penting adalah membantah perkataan yang batil (bukan pelakunya
–pen).”
Syaikh
Abdul Malik Romadhoni hafidzahullah dalam salah satu ceramahnya
menegaskan bahwa metode inilah yang diterapkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam kebanyakan sikapnya: “Tuntunan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hal itu [yakni dalam hal menjelaskan kesalahan
orang lain] beliau mencukupkan diri dengan penjelasan secara global tanpa
merincikan (pelakunya), ini hukum asalnya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam
Shahih Muslim bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Mengapa sebagian orang melakukan ini dan itu.” Ini (sudah
cukup) jika tujuan telah tercapai, namun jika (tujuan untuk memperingati
seseorang tidak tercapai dengan peringatan secara global) maka perlu disebutkan
secara terang-terangan siapa pelakunya. Inilah hukum asal yang selalu
diterapkan.”
Engkau
pun juga bisa mengatakan, “Mengapa fulan atau sebagian orang berkata ini dan
itu”, tanpa menyebutkan namanya. Jika orang yang bersalah itu telah paham
dan kembali (kepada al-haq), maka ini sudah cukup bagimu dan bersyukurlah
kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala.”
Syaikh
Dr. Robi’ bin Hadi al-Madkhali hafidzahullah menasihatkan: “Termasuk
pula (metode dalam berdakwah yang esensial) adalah janganlah engkau mencerca
atau memaki-maki kelompok mereka. (Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu
wa Ta’ala yang artinya),”Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)”
Beliau
menambahkan: “Wahai para penuntut ilmu, kalian jangan menyangka bahwa termasuk
dari bentuk kesempurnaan manhaj yang benar ini adalah keharusan mencaci-maki
tokoh-tokoh mereka. Tidak! Sesungguhnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala
berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108). Jika kalian
mencerca Syaikh Fulan atau kalian mengatakan, “Fulan sesat” atau
julukan-julukan lainnya atau kalian katakan, “Tarekat fulan sesat!” justru yang
demikian ini hanya akan membuat umat lari menjauh darimu. Akhirnya kalian
berdosa lantaran kalian telah menjauhkan manusia dari dakwah yang benar, kalian
munaffirun (membuat umat lari menjauh)”. Padahal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu’adz dan Abu Musa radhiyallahu
‘anhuma ke Yaman, beliau berpesan kepada keduanya: “Hendaklah kalian
mempermudah dan jangan mempersulit, sampaikanlah kabar gembira kepada mereka
dan jangan kalian membuat mereka lari.”
Beliau
kembali menegaskan: “Jika ada yang datang berdakwah kepada mereka kemudian
membodoh-bodohkan pengikut Tijani, boleh jadi mereka akan menyembelihnya, bukan
hanya diusir! Tapi jika kalian datang berdakwah kepada mereka dengan hikmah dan
lemah lembut –barakallahu fik- maka Allah Subhaanahu wa Ta’ala
akan memberikan manfaat kepada mereka lantaran perangai tersebut.”
Namun
perlu diingatkan di akhir pembahasan ini, bahwa penulis di sini bukan sedang
mengingkari disyariatkannya pengidentifikasian secara terang-terangan nama
inidividu atau kelompok yang ditahdzir, jika memang diperlukan; karena
memang ada dalil shahih yang menunjukkan bolehnya penerapan praktek tersebut.
Hal
ini perlu penulis tekankan, karena akhir-akhir ini, ada sementara orang yang
sama sekali melarang pengidentifikasian secara terang-terangan nama individu
atau kelompok yang ditahdzir, berlandaskan sebagian dalil yang
menunjukkan hal itu. Namun sayangnya ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu,
bahwa di sana juga ada dalil shahih dan praktek para ulama salaf yang
menunjukkan bolehnya hal tersebut, jika memang diperlukan. Mari kita memahami
Islam secara holistis, bukan secara parsial.
SYUBHAT-SYUBHAT
SEPUTAR PENERAPAN METODE TAHDZIR
Di
penghujung tulisan ini kami ingin meluruskan beberapa pemahaman keliru yang kerap
menjadikan sebagian orang merasa enggan untuk menerapkan metode tahdzir.
Di
antara pemahaman yang keliru tersebut:
Pertama:
Tahdzir adalah menyebutkan keburukan orang lain, dan ini adalah ghibah.
Padahal ghibah jelas keharamannya berdalilkan al-Qur’an, hadits dan ijma’.
Jawabannya:
Penerapan
metode tahdzir dari individu atau kelompok yang memiliki penyimpangan,
merupakan salah satu bentuk nasehat yang wajib dilakukan. Dan ini tidak
termasuk ghibah yang diharamkan dalam agama Islam.
Imam
Ibn Hazm rahimahullah berkata, “Para ulama telah berijma’ akan
diharamkannya ghibah, kecuali dalam nasehat yang wajib.”
Imam
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa ghibah diperbolehkan dalam enam
kondisi, di antaranya, “Kondisi keempat: (ghibah diperbolehkan) di saat mentahdzir
kaum muslimin dari suatu keburukan, serta ketika menasihati mereka. Dan hal ini
ada beberapa macam bentuknya … antara lain: jika seseorang melihat seorang
santri berangkat belajar pada ahlul bid’ah atau orang yang fasik dan dia
khawatir santri tersebut akan terpengaruh dengan keburukannya, maka hendaknya
ia menasihati santri tersebut dengan menjelaskan kepadanya hakikat keadaan
ahlul bid’ah atau orang fasik tersebut, (hal ini dibolehkan) dengan syarat
tujuannya adalah untuk nasihat.”
Sampai-sampai
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah menegaskan: “Tidak ada (istilah)
ghibah dalam (membicarakan penyimpangan) ahlul bid’ah.”
Senada
dengan ungkapan Imam al-Hasan di atas, pernyataan yang disampaikan oleh Imam
Ibrohim an-Nakho’i dan Imam Sufyan bin ‘Uyainah.
Oleh
karena itu -sebagaimana telah kita jelaskan di atas- Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para ulama sesudah beliau pun menerapkan metode ini.
Bukankah mereka juga pasti mengetahui bahwa ghibah haram hukumnya?
Kedua:
Untuk
menjauhkan umat dari penerapan metode tahdzir ini, sementara orang
berkata, “Berhati-hatilah, jangan sampai kita mencela kehormatan ulama; karena
kehormatan mereka beracun. Siapa saja yang menjatuhkan kehormatan tersebut maka
dia akan terkena racun.”
Syubhat ini mereka bangun –antara lain- di atas perkataan al-Hafidz Ibnu
‘Asakir rahimahullah: “Kehormatan para ulama adalah racun. Hukuman Allah
Subhaanahu wa Ta’ala atas orang yang menjatuhkan kehormatan mereka telah
maklum. Barangsiapa yang menggunakan lisannya untuk mencela ulama, niscaya
Allah Subhaanahu wa Ta’ala akan menjadikan hatinya mati.”
Jawabannya:
Secara
global, syubhat di atas bisa dibantah dengan meminjam perkataan Khalifah Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Ini merupakan kalimat haq, yang
dimanfaatkan untuk melegalkan kebatilan.”
Adapun
jawaban terperinci, adalah sebagai berikut:
1.
Siapakah yang dimaksud dengan para ulama? Apakah setiap yang memiliki tulisan
banyak atau piawai dalam ceramah, serta-merta dia mendapatkan ‘label’ ulama?
Walaupun kenyataannya dia terjerumus ke dalam penyimpangan-penyimpangan yang
tidak ringan, mulai dari pengkafiran umat Islam secara keseluruhan, mencela
beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan menjatuhkan
kehormatan sebagian Nabi?! Ataukah yang dimaksud dengan para ulama adalah:
mereka para pewaris Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menguasai
ilmu Kitab juga Sunnah dan memahaminya dengan pemahaman generasi terbaik umat
ini, serta telah dikenal kemurnian akidah dan pembelaan mereka terhadap sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Barometer
ini perlu diperjelas, karena masih banyak orang yang belum bisa membedakan
antara ulama dengan pemikir atau penyair. Jika hal ini telah jelas, maka
syubhat di atas otomatis akan runtuh dari asasnya, karena sejak awal oknum yang
ditahdzir tersebut tidak masuk dalam kategori ulama.
2.
Banyak di antara mereka yang ditahdzir adalah orang-orang yang
terjerumus ke dalam pencelaan terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Jika demikian kenyataannya, syubhat tersebut akan menjadi
bumerang bagi orang yang menjajakannya. Kita katakan kepada dia, “Jika
kehormatan para ulama mengandung racun, apakah kehormatan para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga tidak mengandung racun?? Salahkah kita, jika membela
kehormatan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
dijatuhkan oleh oknum yang ditahdzir tersebut?”
3.
Pada umumnya, pihak yang menyebarkan syubhat tersebut adalah orang-orang yang
gemar melakukan ‘gerakan bawah tanah’, sembunyi-sembunyi dalam menyebarkan
pemahamannya, mengagungkan tokoh-tokoh ‘perlawanan’ (baca: melawan pemerintah
kaum muslimin tanpa norma-norma yang diajarkan syari’at), lalu mengecilkan
kedudukan para ulama besar Ahlus Sunnah yang telah masyhur kemurnian akidah dan
manhajnya, dengan mengatakan bahwa mereka adalah para ulama kaki tangan
penguasa dan mereka buta akan realita umat (baca: tidak paham fiqhul waqi’).
Jika
demikian kenyataannya, bukankah orang-orang tersebut yang lebih pantas untuk
kita katakan kepadanya, “Hati-hatilah! Kehormatan para ulama adalah racun”?
mengapa lempar batu sembunyi tangan?
4.
Seyogyanya kita berusaha memadukan antara “pembelaan terhadap al-haq” dengan
“penjagaan terhadap kehormatan para ulama Ahlus Sunnah”. Kecintaan dan
penghormatan kita kepada para ulama tidak berkonsekuensi mendiamkan kekeliruan
mereka, di saat mereka keliru. Sebaliknya, memperingatkan kekeliruan mereka,
tidak berarti mencela martabat dan menjatuhkan kehormatan mereka. Hanya orang
yang diberi taufik oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala sajalah yang bisa
memadukan antara dua asas agung di atas.
Ketiga:
Sebagian
orang enggan menerapkan metode tahdzir, dengan alasan hal itu akan
mengakibatkan hati keras dan membatu.
Jawabannya:
1.
Yang akan menyebabkan hati keras dan nurani mati adalah perbuatan maksiat,
sedangkan penerapan metode tahdzir sesuai dengan norma-norma yang
digariskan syari’at bukanlah perbuatan maksiat, bahkan ia merupakan salah satu
ibadah mulia yang disyari’atkan Islam. Dan telah kami bawakan di awal tulisan
ini, dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut.
2.
Penerapan metode tahdzir merupakan salah satu bentuk peralisasian wala’
dan bara’ (cinta dan benci karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala). Seorang muslim
tidak akan pernah mencapai kesempurnaan iman kecuali jika ia telah menerapkan
wala’ dan bara’ dalalm kehidupannya. Sebagaimana yang disitir oleh Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam:
من أعطي لله تعالي، ومنع لله، واحب لله تعالي،
وابغض لله تعالي، وانكح لله تعالي؛ فقد استكمل إيمانه
“Barangsiapa
yang memberi karena Allah Ta’ala, menahan (pemberian) karena Allah Ta’ala,
mencintai karena Allah Ta’ala , membenci karena Allah Ta’ala dan menikahkan
karena Allah Ta’ala; maka telah sempurnalah imannya.”
Justru
dengan menerapkan metode tahdzir, kita telah menghindarkan diri dari kerasnya
hati dan matinya nurani; karena dengan menerapkan metode tersebut, kita telah
maju beberapa langkah guna menggapai kesempurnaan iman. Semoga..
Dari
sinilah terlihat betapa-dalam pemahaman para ulama kita terhadap ajaran Islam.
Mereka diragukan, adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menjaga kesucian
hati. Namun, meskipun demikian, mereka tidak lekang untuk menerapkan metode
tahdzir dalam kesehariannya. Karena mereka tahu bahwa penerapan metode tersebut
tidak bertolak belakang dengan usaha mencapai beningnya hati, bahkan justrumendukung
dan melancarkan usaha tersebut.
Beda
(halnya, -ed) dengan sebagian orang di zaman ini, yang pemahaman
agamanya masih minim, sehingga mengira bahwa jalan untuk menggapai jernihnya
hati adalah dengan “Saling mendiamkan kesalahan dan penyimpangan sesama muslim”
Keempat:
Penerapan
metode tahdzir akan menimbulkan perpecahan di tubuh umat Islam. Padahal
saat ini kita amat butuh untuk bersatu guna melawan musuh-musuh kita.
Jawabannya:
Dari
beberapa sisi:
1.
Selama umat Islam tidak kembali kepada agamanya yang benar, niscaya mereka akan
terus menjadi bulan-bulanan musuh mereka. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« إذا تبايعتم بالعينة وأخذتم أذناب البقر ورضيتم بالزرع وتركتم
الجهاد سلط الله عليكم ذلاً لا ينـزعه حتى ترجعوا إلى دينكم »
“Jika
kalian telah berjual beli dengan sistem ‘inah (salah satu sistem riba), kalian
mengekor hewan ternak kalian, dan terbuai dengan cocok tanam, kemudian kalian
meninggalkan jihad; niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian, hingga
kalian kembali kepada agama kalian.”
Jadi,
sekedar menggembar-gemborkan persatuan antar umat, tanpa meluruskan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan mengembalikan umat kepada ajaran
Islam yang murni, tidak akan bermanfaat untuk mengalahkan musuh.
Kalaupun
bersatu dalam jumlah yang banyak, namun persatuan itu; hanya ibarat banyaknya
buih di lautan. Sebagaimana yang disitir oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam sabdanya,
« يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها. فقال
قائل: ومن قلة نحن يومئذ؟ قال: بل أنتم يومئذ كثير ولكنكم غثاء كغثاء السيل
»
“Akan
tiba saatnya bangsa-bangsa mencaplok kalian, sebagaimana orang-orang yang
berebut makanan di dalam nampan. Seseorang bertanya, “Apakah karena saat itu
jumlah kita sedikit?”. Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahkan saat
itu jumlah kalian banyak, namun kalian bagaikan buih di lautan.”
2. Yang
kerap menimbulkan perpecahan adalah penerapan metode tahdzir tanpa
mengindahkan norma-normanya. Jika ada orang yang menerapkan metode tahdzir
tanpa memperhatikan norma-normanya, maka janganlah kita mengingkari metode tahdzirnya;
karena metode ini telah disyariatkan berdasarkan dalil-dalil yang kuat
-sebagaimana telah dijelaskan di atas-. Sikap yang benar adalah: kita tetap
menerapkan metode ini, namun dengan memperhatikan norma-normanya, sambil
berusaha meluruskan pihak yang keliru dalam penerapannya. Jika metode tahdzir
telah dilakukan sesuai dengan norma-normanya insya Allah tidak akan menimbulkan
perpecahan, kecuali dalam satu kondisi yaitu:
3.
Orang yang diperingatkan tetap bersikeras dengan kesalahannya. Inilah yang
justru menimbulkan perpecahan di dalam tubuh umat. Sudah dijelaskan padanya
dalil-dalil dari al-Qur’an dan hadits, serta perkataan-perkataan para ulama
yang menerangkan kesalahan dia, namun masih saja ngotot dengan pendapatnya yang
keliru; orang-orang model seperti inilah yang seharusnya dikatakan merusak
rapatnya barisan kaum muslimin, bukan orang-orang yang berusaha menerapkan
metode tahdzir dengan norma-normanya yang benar.
PENUTUP
Semoga
Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengaruniakan kepada kita pemahaman yang benar
terhadap ajaran Islam, sebagai sarana untuk mengamalkannya. Juga semoga Allah
Subhaanahu wa Ta’ala menjadikan kita (sebagai, -ed) orang-orang yang senantiasa
bersegera rujuk kepada al-haq tatkala sadar bahwa kita berada di atas
kekeliruan. Saudaraku, terjerumus kepada suatu kekeliruan bukanlah suatu aib,
namun bersikeras di atas kekeliruan itulah yang merupakan aib.
Tegur
sapa membangun dari para pembaca yang budiman senantiasa kami tunggu. “Semoga
Allah Ta’ala merahmati orang yang sudi menunjukkan kepadaku
kekeliruan-kekeliruanku.”
Wallahu
taa’la a’lam.
Wa
shallalllahu’ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alii wa shahbihi ajma’in…
Selesai
diedit ulang di kota Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Pada
awal Shafar 1429 H
Hamba
Allah yang senantiasa
mengharap ampunanNya
mengharap ampunanNya
Daftar
Pustaka:
1. Al-Qur’an
dan terjemahannya.
2. Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid, ad-Daruquthni.
3. Al-Adzkar, an-Nawawi.
4. Al-Furuq, al-Qarafi.
5. Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibn Hibban, Ibn Balban.
6. Al-Imamah, al-Ashbahani.
7. Al-Istighatsah, Ibn Taimiyah.
8. Al-Jama’at al-Islamiyyah, Salim al-Hilali.
9. Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi.
10. Al-Kafiyah fi al-Jadal, al-Juwaini.
11. Al-Mahajjah al-Baidha’, Rabi’ al-Madkhali.
12. Al-Qaul as-Sadid, Abdurrazaq al-Badr.
13. An-Nashihah, al-Albani.
14. Ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, Bakr Abu Zaid.
15. Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i, Abdul Muhsin al-’Abbad.
16. Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami.
17. Ash-Shawa’iq al-Mursalah, Ibn al-Qayyim.
18. At-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni, Bakr Abu Zaid.
19. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Ali bin Hasan al-Halabi.
20. Bughyah al-Multamis, al-’Ala’i.
21. Fadha’ih al-Bathiniyyah, al-Ghazali.
22. Ghayah al-Amani, al-Alusi.
23. Ijma’ al-’Ulama, Khalid azh-Zhufairi.
24. Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul, Salim al-Hilali.
25. Irsyad as-Sari, al-Qasthallani.
26. Khalq Af’al al-’Ibad, al-Bukhari.
27. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
28. Maratib al-Ijma’, Ibn Hazm.
29. Matha’in Sayyid Quthb, Rabi’ al-Madkhali.
30. Mathla’ al-Fajr, Salim al-Hilali.
31. Mauqif Ahl as-Sunah min Ahl al-Bida’, Ibrahim ar-Ruhaili.
32. Minhaj at-Ta’sis, Abdul Lathif Alu Syaikh.
33. Munazharat A’immah Salaf, Salim al-Hilali.
34. Musnad Ahmad.
35. Naqdh Utsman bin Sa’id, ad-Darimi.
36. Nashihah li asy-Syabab, Ibrahim ar-Ruhaili.
37. Riyadh ash-Shalihin. (Imam an-Nawawi,-ed)
38. Shahih al-Bukhari.
39. Shahih Muslim.
40. Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani.
41. Shahih Sunan Ibn Majah, al-Albani.
42. Sittu Durar, Abdul Malik al-Jazairi.
43. Sunan Abi Dawud.
44. Sunan Ibn Majah.
45. Syaraf Ashab al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi.
46. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Ibn Katsir.
47. Tahrim an-Nazhar, Ibn Qudamah.
48. Tanzih ad-Din, as-Sa’di.
49. Thariq al-Hijratain, Ibn al-Qayyim.
2. Akhbar ‘Amr bin ‘Ubaid, ad-Daruquthni.
3. Al-Adzkar, an-Nawawi.
4. Al-Furuq, al-Qarafi.
5. Al-Ihsan fi Taqrib Shahih Ibn Hibban, Ibn Balban.
6. Al-Imamah, al-Ashbahani.
7. Al-Istighatsah, Ibn Taimiyah.
8. Al-Jama’at al-Islamiyyah, Salim al-Hilali.
9. Al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, al-Qurthubi.
10. Al-Kafiyah fi al-Jadal, al-Juwaini.
11. Al-Mahajjah al-Baidha’, Rabi’ al-Madkhali.
12. Al-Qaul as-Sadid, Abdurrazaq al-Badr.
13. An-Nashihah, al-Albani.
14. Ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, Bakr Abu Zaid.
15. Ar-Radd ‘ala ar-Rifa’i, Abdul Muhsin al-’Abbad.
16. Ash-Shawa’iq al-Muhriqah, Ibn Hajar al-Haitami.
17. Ash-Shawa’iq al-Mursalah, Ibn al-Qayyim.
18. At-Tahdzir min Mukhtasharat ash-Shabuni, Bakr Abu Zaid.
19. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah, Ali bin Hasan al-Halabi.
20. Bughyah al-Multamis, al-’Ala’i.
21. Fadha’ih al-Bathiniyyah, al-Ghazali.
22. Ghayah al-Amani, al-Alusi.
23. Ijma’ al-’Ulama, Khalid azh-Zhufairi.
24. Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul, Salim al-Hilali.
25. Irsyad as-Sari, al-Qasthallani.
26. Khalq Af’al al-’Ibad, al-Bukhari.
27. Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah.
28. Maratib al-Ijma’, Ibn Hazm.
29. Matha’in Sayyid Quthb, Rabi’ al-Madkhali.
30. Mathla’ al-Fajr, Salim al-Hilali.
31. Mauqif Ahl as-Sunah min Ahl al-Bida’, Ibrahim ar-Ruhaili.
32. Minhaj at-Ta’sis, Abdul Lathif Alu Syaikh.
33. Munazharat A’immah Salaf, Salim al-Hilali.
34. Musnad Ahmad.
35. Naqdh Utsman bin Sa’id, ad-Darimi.
36. Nashihah li asy-Syabab, Ibrahim ar-Ruhaili.
37. Riyadh ash-Shalihin. (Imam an-Nawawi,-ed)
38. Shahih al-Bukhari.
39. Shahih Muslim.
40. Shahih Sunan Abi Dawud, al-Albani.
41. Shahih Sunan Ibn Majah, al-Albani.
42. Sittu Durar, Abdul Malik al-Jazairi.
43. Sunan Abi Dawud.
44. Sunan Ibn Majah.
45. Syaraf Ashab al-Hadits, al-Khathib al-Baghdadi.
46. Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, Ibn Katsir.
47. Tahrim an-Nazhar, Ibn Qudamah.
48. Tanzih ad-Din, as-Sa’di.
49. Thariq al-Hijratain, Ibn al-Qayyim.
Sumber
pengambilan:-
Dari
artikel berjudul Upaya Menjaga Kemurnian Islam,
Menyoal Tahdzir dan Norma-Normanya http://salafiyunpad.wordpress.com/2008/07/02/upaya-menjaga-kemurnian-islam-menyoal-tahdzir-dan-norma-normanya/
- Dikomparasikan
dengan artikel dengan judul yang sama di majalah AL FURQON, no. 95 Edisi
Khusus, tahun ke-9 [1430/2009], hal. 47-56
[1] HR. Ibnu
Hibban (XIII/282 no. 5952 -al-Ihsan). Muhaqqiq Shahih Ibn Hibban menshahihkan
hadits ini.
[2] Untuk
pembahasan lebih luas rujuklah: At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fi
Isti’nafi al-Hayah al-Islamiyyah, karya Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi.
[3] Majmu’
al-Fatawa (XXXV/414). Lihat pula: Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar,
karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani: hal. 109-112
[4] Lihat: al-Kafiah
fi al-Jadal, hal. 23-24
[5] HR. Al-Khathib
al-Baghdady rahimahullah dalam Syaraf Ashab al-Hadits (hal. 65
no. 51) dan yang lainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Ahmad sebagaimana
dalam Syaraf Ash-hab al-Hadits (hlm. 65). Al-‘Ala’i dalam Bughyah
al-Multamis (hlm. 34) berkata, “Hasan Shahih Gharib”. Ibn al-Qayyim
dalam Thariq al-Hijratain (hal. 578) berkata, “Hadits ini diriwayatkan
dari banyak jalan yang saling menguatkan.” Senada dengan perkataan Ibn
al-Qayyim: penjelasan al-Qashthallani dalam Irsyad as-Sari (I/7). Syaikh
Salim al-Hilali telah mentakhrij hadits ini secara riwayah dan dirayah
dalam kitabnya: Irsyad al-Fuhul ila Tahrir an-Nuqul fi Tash-hih Hadits
al-‘Udul, dan beliau menyimpulkan bahwa derajat hadits ini adalah
hasan.
[6] Lihat
dalil-dalil tersebut dalam kitab: Mauqif Ahl as-Sunnah, karya Syaikh Dr.
Ibrahim ar-Ruhaily hafizhahullah (II/482-488), al-Mahajjah al-Baidha’
karya Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah (hal.
55-74), ar-Radd ‘ala al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah
(hal. 22-29), dan Munazharat A’immah as-Salaf, karya Syaikh Salim
al-Hilaly hafizhahullah (hal.14-19)
[7] HR. Ahmad
(III/4-5). Para muhaqqiq Musnad (XVII/47) menshahihkan isnadnya. Hadits
ini aslinya dalam Bukhari (no. 6933) dan Muslim (II/744 no. 1064
[8] HR. Ibnu Majah
(I/62 no. 176). Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Ibn Majah (I/76)
berkata, “Hasan shahih”
[9] HR. Ibnu Majah
(hal. 32 no. 92) dan yang lainnya. As-Sindi dalam ta’liq beliau atas Sunan
Ibnu Majah (I/70 –cet. Dar al-Ma’rifah) menyebutkan bahwa Imam al-Hakim dan
al-Hafidz Ibnu Hajar menshahihkan hadits ini. Syaikh al-Albani menghasankan
hadits ini dalam takhrij beliau atas Kitab as-Sunnah karya Imam Ibnu Abi
‘Ashim (hal. 144)
[10] Al-Furuq,
IV/207
[11] Majmu’
Fatawa Syaikhil Islam: XXVIII/231
[12] Lihat: Mathla’
al-Fajr fi Fiqh az-Zajr bi al-Hajr karya Syaikh Salim al-Hilali (hal.
62-77) dan Ijma’ al-’Ulama’ ‘ala al-Hajr wa at-Tahdzir min Ahl al-Ahwa’,
karya Syaikh Khalid azh-Zhufairi, hal. 89-153
[13] Tidak semua
tokoh yang kami sebutkan di sini berakidah Ahlus Sunnah dalam setiap
permasalahan, namun ada sebagian kecil dari mereka yang berseberangan dengan
Ahlus Sunnah dalam berbagai permasalahan. Sengaja mereka kami sebutkan pula,
agar umat tahu bahwa metode tahdzir ini juga diterapkan oleh para ahli ilmu di
luar lingkaran Ahlus Sunnah, maka amat keliru jikalau Ahlus Sunnah selalu
dipojokkan akibat mereka menerapkan metode ini, wallahu a’lam
[14] HR. Muslim,
no. 1
[15] Dicetak di
Riyadh: Dar Athlas al-Khadhra’, dengan tahqiq Dr. Fahd al-Fuhaid
[16] Dicetak di
Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan tahqiq Dr. Rasyid al-Alma’i
[17] Dicetak di
Riyadh; Dar at-Tauhid, dengan tahqiq Muhammad Alu ‘Amir
[18] Dicetak di
Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, dengan tahqiq Prof. Dr. Ali al-Faqihi
[19] Dicetak di
Kuwait: Dar al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, dengan tahqiq Abdurrahman Badawi
[20] Dicetak di
Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, dengan tahqiq Abdurrahman Dimasyqiyyah
[21] Dicetak di
Riyadh: Maktabah Dar al-Minhaj, dengan tahqiq Dr. Abdullah as-Sahli
[22] Dicetak di
Riyadh: Adhwa’ as-Salaf, dengan tahqiq Dr. Ali ad-Dakhilullah
[23] Dicetak di
Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, dengan tahqiq Abdurrahman at-Turki dan Kamil
al-Kharrath
[24] Wihdatul
wujud adalah suatu paham yang diciptakan orang-orang sufi, intinya
mengatakan bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’ala adalah alam semesta dan alam
semesta adalah Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Orang Jawa mengistilahkannya:
Manunggaling kawulo Gusti. Tokoh yang paling getol menyebarkannya pada
masa lalu adalah al-Hallaj. Sedangkan ‘pengibar bendera’nya di Indonesia,
antara lain, di Jawa: Syaikh Siti Jenar, di Sumatra: Hamzah al-Fansuri dan
Syamsuddin as-Sumatrani, dan di Sulawesi serta Kalimantan: Yusuf al-Makassari
dan Muhammad Nafis al-Banjari. Akhir-akhir ini ada yang berusaha membungkus
pemahaman sesat ini dengan ‘baju sains’, yaitu: Agus Musthafa dalam bukunya Bersatu
dengan Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Lihat: Misteri Syekh Siti Jenar,
karya Prof. DR. Hasanu Simon (hal. 386), Syiah dan Ahlus Sunnah Saling Rebut
Pengaruh dan Kekuasaan, karya Prof. A. Hasjmy (hal. 52-53), Syaikh Yusuf
Seorang Ulama, Sufi, dan Pejuang karya Abu Hamid (hal. 180), dan Ensiklopedi
Islam Indonesia (hal. 676-678). Untuk bantahan yang luas atas paham sesat
ini, silakan merujuk kitab: ‘Aqidah ash-Shufiyyah Wihdah al-Wujud
al-Khafiyyah karya DR. Ahmad bin Abdul ‘Aziz al-Qushayyir.
[25] Lihat:
Syiah dan Ahlus Sunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan, karya Prof. A.
Hasjmy (hal. 54), Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
karya Prof. DR. Azyumardi Azra (hal. 219-220) dan Ensiklopedi Islam
Indonesia (hal. 745-746)
[26] Dicetak di
Riyadh: Dar al-Hidayah
[27] Lihat: Durus
min Madhi at-Ta’lim wa Hadhirih bi al-Masjid al-Haram karya ‘Umar Abdul
Jabbar (hlm. 43-44) dan Syaikh Ahmad Khathib Ilmuwan Islam di Permulaan Abad
Ini karya Drs. Akhria Nazwar (hlm. 21). Buku pertama dan buku kedua
(mungkin maksud penulis, adalah buku ini:Izh-har Zaghl al-Kadzibin fi
Tasyabuhihim bi ash-Shodiqin” dan “As-Saif al-Battar fi Mahq Kalimat
Ba’dh al-Aghrar“, -ed) berbahasa melayu dengan huruf Arab, sedangkan buku
ketiga (mungkin maksudnya buku ini: Tanbih al-Ghafil bi Suluk Thariqah
al-Awa’il, -ed) berbahasa Arab. Buku pertama telah disalin ke bahasa dan
huruf Indonesia (yaitu dengan huruf alfabet, -ed), lalu diterbitkan
penerbit Firma Islamyah Medan, dengan judul Fatwa tentang Thariqat
Naqsyabandiyyah.
[28] Dicetak di
Riyadh: Maktabah ar-Rusyd, dengan ‘inayah ad-Dani Zahwi
[29] Dicetak di
Damam: Dar Ibn al-Jauzi, dengan tahqiq Abdurrahman ar-Rahmah
[30] Dalam buku
yang berjudul “ar-Rudud“, dicetak di Riyadh: Dar al-’Ashimah
[31] Dicetak di
Damam: Dar Ibn al-Qayyim
[32] Dicetak di
Kairo: Dar al-Imam Ahmad
[33] Dicetak di
Damam: Dar Ibn al-Jauzi
[34] Sebagaiman
dalam buku-bukunya, antara lain: Ma’alim fi ath-Thariq (hal.158) dan Fi
Zhilalil Qur’an (II/1057, III/1816, IV/2122. Adanya pemikiran asal vonis
takfir dalam diri Sayyid Quthb rahimahullah ini, juga diakui oleh para
pengagumnya, yakni para tokoh Ikhwanul Muslimin. Di antara mereka yang mengakui
hal tersebut: Dr. Yusuf Qaradhawi dalam bukunya: Aulawiyyat al-Harakah
Islamiyyah (hal.110), Farid Abdul Khaliq dalam bukunya: Al-Ikhwan
al-Muslimun fi Mizan al-Haq (hal. 115), Salim al-Bahsanawi dalam
bukunya al-Hukm wa Qadhiyyah Takfir al-Muslim (hal. 50) dan Ali
Jarisyah dalam bukunya: Al-Ittijahat al-Fikriyyah al-Mu’ashirah
(hal. 279). Lihat: At-Takfir wa Dhawabithuh karya Dr. Ibrahim bin ‘Amir
ar-Ruhaili (hal. 38-42)
[35] Sebagaimana
dalam bukunya: al-’Adalah al-Ijtima’iyyah (hal. 186, 187, 206, 207).
Lihat: Matha’in Sayyid Quthb (98, 120, 212, 237, 248)
[36] Dicetak di
Emirat: Maktabah al-Furqan) dan kitab-kitab beliau lainnya.
[37] Dicetak di
Damam: Dar Ibn al-Qayyim
[38] Dicetak di
Kairo; Dar al-Imam Ahmad
[39] Lihat kitab: Mauqif
Ahl as-Sunnah: II/493-494 dan Sittu Durar min Ushul Ahl al-Atsar:
hal. 113-121
[40] Lihat Majmu’
al-Fatawa (XXVIII/235) dan Minhaj as-Sunnah karya Syaikhul Islam (V/253)
[41] Lihat:
Nashihah li asy-Syabab (hal. 6-8). Ada beberapa tambahan dari kami atas poin
kedua, dan hal tersebut telah disetujui oleh Syaikh Ibrahim. Silahkan
merujuk pula: Mauqif Ahl as-Sunnah: II/507-509 dan ar-Radd ‘ala
al-Mukhalif, karya Syaikh Bakr Abu Zaid, hal 53-68 dan 85
[42] Lihat: 14
Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah karya Abdullah Zaen (hal. 91-99)
[43] HR. Muslim
(II/1020 no. 1401)
[44] HR. Muslim
(II/1114 no. 1480), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan pernyataan
ini tatkala dimintai pendapat oleh Fathimah binti Qois radhiyallahu ‘anha
tentang siapa di antara dua sahabat tadi yang akan dia terima pinangannya, lalu
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kekurangan masing-masing dari
keduanya dan menasihatkan kepada Fathimah agar bersedia dinikahi Usamah bin
Zaid radhiyallahu ‘anhu. Seandainya menyebutkan aib dua orang sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk kepentingan duniawi seorang wanita
diperbolehkan, tentunya menyebutkan aib ahlul bid’ah untuk kepentingan akhirat
kaum muslimin lebih layak untuk diperbolehkan. Lihat: Mauqif Ahl as-Sunnah
(II/488) dan Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam (XXVIII/230)
[45] Majmu’ Fatawa
wa Maqalat Mutanawwi’ah (VIII/242). Lihat pula: Ar-Radd ‘ala Mukhalif (hal. 60)
[46] Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyyah (hlm. 317)
[47] Sebagaimana
dalam kaset beliau yang berjudul Tsimar Murroh min Ghiras at-Tajrih bi
Ghairi Haq.
[48] Al-Hats ‘ala
al-Mawaddah (hal. 24)
[49] Ibid (hal.25)
[50] Ibid (hal.30)
[51] Di antara para
ulama yang menukil ijma’ akan haramnya ghibah: Imam Ibn Hazm dalam Maratib
al-Ijma’ (hal. 156), Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar (hal. 542) dan
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim (VII/380). Sedangkan Imam
al-Qurthubi dalam al-Jami’ fi Ahkam al-Qur’an, beliau mengatakan bahwa
para ulama tidak berbeda pendapat bahwa ghibah adalah termasuk kategori dosa
besar.
[52] Lihat: Maratib
al-Ijma’, hal. 156
[53] Riyadh
ash-Shalihin, hal. 561-562
[54] Syarh Ushul
I’tiqod Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah karya Imam al-Lalika’i (I/158 no. 280)
[55] Lihat: Ibid
(I/158 no. 276)
[56] Lihat: Mukhtashar
al-Hujjah ‘ala Tariki al-Mahajjah karya Imam Nashr al-Maqdisi (I/292 no.
313
[57] Untuk
pembahasan lebih luas tentang masalah ini, silahkan merujuk kitab Mauqif Ahl
as-Sunnah min Ahl al-Bida’, (II/481-510)
[58] Dinukil oleh
Imam an-Nawawi dalam Muqoddimah kitab beliau al-Majmu’
[59] Kitab asy-Syari’ah
karya Imam al-Ajurri (I/353 no. 51)
[60] Imam al-lalika’i
meriwayatkan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah
perkataannya, “Jika engkau mendapatkan segolongan orang membicarakan perkara
agama secara rahasia, dan menutup-nutupinya dari umumnya kaum muslimin, maka
ketahuilah bahwa mereka sedang membangun kesesatan.” Lihat: Syarh Ushul
I’tiqod Ahl as-Sunnah (I/153 no. 251)
[61] Nashihah li
asy-Syabab (hal. 9). Lihat: al-Fatawa al-Kubro oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah (III/177-178)
[62] HR. Tirmidzi
(hal. 568 no. 2521) dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah
al-Ahadits ash-Shahihah (I/113)
[63] Lihat bantahan
atas pemahaman keliru ini dalam Zajr al-Mutahawin bi Dharar Qo’idah
al-Ma’dzirah wa at-Ta’awun, karya Hamd bin Ibrahim al-‘Utsman.
[64] HR. Abu Daud,
III/477 no. 3462, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan
Abu Dawud, II/365
[65] HR. Abu Dawud
(IV/315 no. 4297), dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih
Sunan Abu Dawud (III/25))
FATWA TALAK RUJUK KARENA EMOSI
Pertanyaan :
1. Bagaimana
hukum menjatuhkan talak oleh suami kepada istrinya pada suatu tempat, sementara
ia sedang dalam keadaan emosi ?
2. Bagaimana
pula proses rujuknya, jika suami ingin rujuk kepada istrinya ?
Jawaban
:
Ada
dua hal yang perlu dipahami dalam menetapkan hukum masalah di atas, yaitu
pertama, tentang emosi, dan yang kedua, tentang syarat-syarat jatuhnya suatu
talak.
Emosi merupakan perasaan batin yang terus
menerus timbul dari hati seseorang, bukan timbul dari akal pikiran (otak).
Karena itu suatu emosi yang timbul pada seseorang mungkin tidak menutup akal
pikiran dan mungkin pula dapat menutup akal pikiran. Jika seorang suami yang
sedang dalam keadaan emosi yang tidak menutup akal pikirannya menjatuhkan talak
kepada istrinya, maka talaknya akan jatuh. Sebaliknya, suami yang dalam keadaan
emosi yang menutup akal pikiranya, maka talaknya tidak jatuh.
Dalilnya adalah orang yang dalam keadaan
emosi yang tertutup akal pikirannya disamakan dengan orang yang sedang mabuk.
Orang yang sedang mabuk jika ia melakukan perbuatan penting seperti shalat,
maka shalatnya tidak sah, karena akal pikirannya tertutup karena mabuknya itu.
Dasarnya ialah firman Allah SWT.:
يَآيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلاَةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ
Artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan …” (QS. An-Nisaa {4} : 43).
Demikian
juga halnya dengan talak yang dijatuhkan suami dalam keadaan emosi yang
pikirannya sedang tertutup, maka talaknya tidak jatuh, berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صلعم: كُلُّ الطَّلاَقِ
جَائِزٌ إِلاَّ الطَلاَقُ اْلمَعْلُوْبُ عَلَى عَقْلِهِ
Artinya;
“Dari Abu Hurairah dan Nabi SAW bersabda: ‘Setiap talak (yang dijatuhkan suami)
adalah sah, kecuali talak (suami) yang tertutup akalnya’.” (HR. At-Tirmuzi dan Al-Bukhari, hadits ini
mauquf).
Dalam pada itu talak yang dijatuhkan suami
hendaklah resmi, dalam arti lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Di
antara rukun talak itu ialah dihadiri oleh dua orang saksi laki-laki. Allah SWT
berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ
Artinya; “… Saksikanlah dengan dua orang
saksi di antara kamu, dan lakukanlah persaksian itu karena Allah ….” (QS.
Ath-Thalaq {65}:2)
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
pasal 30 dan 39, maka setiap perceraian dilakukan di hadapan sidang Pengadilan
Agama atas ketetapan dan keputusan hakim, j.o. Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama bagian kedua, paragraf 1 pasal 65, dan Keputusan
Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden No. 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab XVI bagian kesatu
paal 115.
Dengan demikian, maka talak yang dijatuhkan
suami terhadap istrinya itu tidak sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Seandainya talak itu dilakukan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, maka
rujuknya dicatat dan dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah dan disaksikan
oleh dua orang saksi, sesuai dengan Bab XVIII bagian kesatu pasal 164, 165, dan
166.
Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa:
1. Jika
talak itu dijatuhkan oleh suami yang dalam keadaan emosi yang akal pikirannya
telah tertutup, maka talaknya tidak jatuh.
2. Jika
talak itu dijatuhkan oleh suami dalam keadaan emosi yang tidak tertutup akal
pikirannya, maka talak itu pun juga tidak jatuh, karena tidak disaksikan oleh
dua orang saksi. Bila talak itu dilakukan secara resmi dengan arti lengkap
rukun dan syaratnya, maka talak itu jatuh. Talak yang jatuh satu kali atau dua
kali dapat dirujuk oleh suami.
3. Talak
yang dilakukan di luar pengadilan, maka tidak sah talaknya.
FATWA DAM MELEPASKAN PAKAIAN IHRAM
Pertanyaan
:
Orang
yang memakai pakaian ihram untuk berhaji menuju ke Arafah pada tanggal 8
Dzulhijjah, menurut ketentuan kloter, para jamaah akan diberangkatkan pada jam
10 waktu setempat. Karena lama menunggu tidak berangkat pada jam tersebut, maka pakaian
ihram yang dipakai tadi dilepasnya, sedang dia telah berniat. Yang kami
tanyakan, apakah orang tersebut dikenakan dam ?
Jawaban :
Karena
Saudara tidak menjelaskan pakaian yang mana yang dilepas, apakah semuanya
ataukah hanya pakaian bagian atas saja, maka kami perkirakan yang dilepas
mungkin hanya bagian atas saja, sebab tidak mungkin melepas semuanya.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kami
kutipkan lebih dahulu, larangan-larangan bagi orang yang berihram. Adapun
larangan-larangan bagi orang yang berihram yang mengakibatkan wajib membayar
dam ialah;
1. Memakai pakaian yang berjahit menyarung
bagi laki-laki, sebagaimana diungkapkan dalam suatu hadits;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ يَا
رَسُولَ اللهِ مَا يَلْبَسُ اْلمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ؟ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَلْبَسُ الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ
السَّرَاوِيلاَتِ وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ اْلخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ
يَجِدُ نَعْلَيْنِ فَيَلْبَسُ خُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ الْكَعْبَيْنِ
وَلاَ تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ أَوْ وَرْسٌ ( رواه
البخاري، كتاب الحج : 1542 )
Artinya: “Dari Abdullah bin ‘Abbas r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki bertanya;
‘Hai Rasulullah, pakaian apasaja yang boleh dipakai oleh orang yang berihram?’
Rasulullah SAW menjawab: ‘Tidak boleh memakai qamis (hem, baju kurung, kaus),
serban (kerudung, kupiyah, dan tutup kepala lainnya), celana, topi, dan sepatu,
kecuali apabila tidak menemukan sepasang sandal, maka boleh memakai sepasang
sepatu dan hendaklah memotong bagian bawah mata kaki kedua sepatu tersebut, dan
janganlah memakai baju yang terkena za’faran dan waras
(parfum)’.” (HR. Al-Bukhariy, Kitab al-Hajji, No. 1542).
2. Menutup kepala bagi laki-laki, menutup
wajah dan tapak tangan bagi perempuan.
Larangan menutup kepala telah tercakup
dalam hadits di atas, yaitu tentang larangan memakai ‘imamah (serban). Adapun
larangan menutup muka dan tapak tangan bagi perempuan, disebutkan dalam hadits
Nabi sebagai berikut;
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلاَ
تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقُفَّازَيْنِ
( رواه البخاري، كتاب الحج : 1542 )
Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda: ‘Janganlah menutup muka perempuan yang berihram, dan
janganlah memakai kaus tangan’.” (HR. Al-Bukhariy)
3. Memakai parfum, baik bagi laki-laki
maupun perempuan, sebagaimana disebutkan dalam hadits tesebut di atas.
4. Mencukur rambut dan memotong kuku,
sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;
وَلاَ تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
( البقرة {2}:196 )
Artinya: “Janganlah kamu mencukur rambut
kepalamu sebelum hadyu (kurban) sampai ke tempat penyembelihan.” (Al-Baqarah
{2}:196).
5. Membunuh binatang buruan, sebagaimana
ditegaskan dalam firman-Nya;
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تَقْتُلُوْا الصَّيْدَ
وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ( المائدة {5}:95 )
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang berihram …”
(Al-Maidah {5}:95)
6. Menikah / menikahkan, sebagaimana
disebutkan dalam suatu hadits;
عَنْ عُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَنْكِحُ الْمَرْأَةُ وَلاَ يُنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ ( رواه
مسلم )
Artinya:
“Dari ‘Usman r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda: ‘Orang yang sedang berihram
tidak boleh menikah dan tidak boleh pula menikahkan, dan tidak boleh melamar’.”
(Ditakhrijkan
oleh Muslim, dari ‘Usman; as-San’aniy, II: 102).
7. Hubungan persebadanan dengan istri dan
bercumbu rayu sebelumnya, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya;
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ
فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوْقَ وَلاَ جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya:
“Musim hajji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan
niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan hajji, maka tidak boleh melakukan
rafas (bersetubuh dan bercumbu rayu), berbuat fasiq, dan berbantah-bantahan di
dalam masa mengerjakan hajji.” (al-Baqarah {2}:197).
Para
ulama sependapat bahwa hubungan persebadanan membatalkan haji, dan di samping
wajib membayar dam, juga wajib mengulangi haji di tahun berikutnya, sedang
bercumbu rayu hanya wajib membayar dam.
Demikianlah larangan-larangan bagi orang
yang berihram, maka jika hanya melepas pakaian sebelah atas saja, selama tidak
melanggar larangan-larangan tersebut, tidaklah wajib membayar dam.
Adapun
waktu pembayaran dam adalah pada hari Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah), sebelum
tahullul, atau pada hari-hari tasyriq. Apabila tidak mampu menyembelih kambing,
di ganti dengan puasa 10 hari; tiga hari di tanah suci pada waktu haji, dan 7
hari di tempat asal (Tuntunan Manasik Haji Tim Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, hal. 99).
FATWA PUASA ARAFAH
Pertanyaan :
Bagaimana hukum puasa Arafah yang tidak
bertepatan dengan wukufnya jama’ah haji ?
Jawaban
:
Pertanyaan
Saudara singkat, tetapi jawabannya agak sedikit panjang, karena ada aspek yang
menyangkut ijtihad, di mana sama-sama kita ketahui bahwa “ijtihad itu tidak
gugur oleh ijtihad”. Di samping itu, ijtihad sekalipun tidak tepat (benar),
tapi mendapat satu pahala bagi orang yang berijtihad, begitu juga yang
mengikutinya.
Kalau
kita merujuk kepada Sunnah, Nabi SAW menyuruh kita yang tidak sedang melakukan
ibadah haji, sunat berpuasa pada hari wuquf, seperti disebutkan dalam hadits
berikut;
صَوْمُ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَ مُسْتَقْبَلَةً (
رواه الجماعة )
Artinya: “Puasa Arafah dapat menutup
(menghapus dosa) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang”. (HR.
Al-Jama’ah)
Menurut bunyi hadits tersebut, kita harus
berpuasa pada waktu para hujjaj sedang wuquf di Arafah, bukan pada hari sesudah
wuquf. Hal ini tidak ada kesulitan jika kita mempergunakan “mathla’ Makkah”
dalam penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawwal dan 1 Dzulhijjah. Tetapi, Lembaga Isbat
Departemen Agama, begitu juga ormas-ormas Islam yang berpengaruh di Indonesia,
memakai mathla’ wilayah Indonesia, bukan mathla’ Makkah. Selama ijtihad kita
masih seperti itu, maka ada kemungkinan, kadang-kadang kita berpuasa Arafah
tidak tepa pada hari wuquf. Padahal sekarang ini, untuk mengetahui kapan para
hujjaj wuquf sangat mudah; dua atau tiga hari sebelum wuquf, Mufti Kerajaan
Arab Saudi sudah mengumumkan dan disiarkan ole media cetak dan elektronik ke
seluruh dunia. Di Indonesia, baru Al-Irsyad, Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII), dan Hizbut Tahrir yang sudah menggunakan mathla’ Makkah khusus dalam
menentukan Hari Raya Haji, bahkan juga untuk Hari Raya Idul Fitri.
Dengan
uraian singkat di atas, maka dapat ditegaskan bahwa idealnya kita berpuasa pada
hari para hujjaj sedang melakukan wuquf, bukan pada hari lainnya, apalagi
mengingat selisih waktu antara Arab Saudi dan Indonesia hanya ± 4 jam. Namun demikian, bagi orang yang mengikuti
penetapan Pemerintah (Departemen Agama) tidak dapat disalahkan, puasanya
mudah-mudahan diterima oleh Allah dan dipandang sah secara hukum.
Insya Allah Majelis Tarjih dan Pengembangan
Pemikiran Islam akan meninjau ulang masalah mathla’ ini pada Munas Tarjih ke-26
yang akan diselenggarakan di Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober
mendatang. Kalau mathla’ Makkah dapat diterima, maka kita dapat berpuasa tepat
pada hari wuquf dan Hari Raya juga tidak berbeda. Kita harapkan juga,
ormas-ormas yang lain mau mengkaji ulang soal ini. Masalah ini (mathla’) adalah
termasuk objek ijtihad, karena tidak ada nash yang mengharuskan kita mesti
memakai mathla’ negerinya masing-masing. Perlu kami informasikan, sebagai
wacana soal tersebut pernah ditulis oleh Saudara Drs. H. Ismail Thaib (Ketua
Divisi Fatwa, Hisab, dan Tafsir Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam
Pimpinan Pusat Muhammadiyah) dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 06 Th. ke-88,
16-31 Maret 2003.
FATWA MENGANGKAT KEDUA TANGAN KETIKA BERDOA
Pertanyaan
:
Beberapa
waktu lalu kami sempat berdialog dengan teman-teman di suatu masjid, mengenai
mengangkat tangan ketika berdo’a. Sebagian teman berpendapat disunnahkan
mengangkat tangan, sedang teman lainnya berpendapat tidak disunnahkan. Semuanya menyodorkan hadits, baik yang
berpendapat sunnah mengangkat tangan, maupun yang berpendapat tidak sunnah
mengangkat tangan.
Yang berpendapat tidak sunnah mengangkat
tangan karena ada hadits yang mengatakan: illa fil istisqa’ (kecuali
ketika istisqa’ saja). Karena ada istitsna’ (perkecualian) itulah
sebagian teman kami berpendapat tidak disunnahkan mengangkat tangan ketika
berdo’a. Maka dengan ini kami mohon kepada dewan fatwa untuk menjelaskan, apa
yang dimaksudkan dengan istitsna’ (perkecualian) tersebut? Karena yang
berpendapat tidak sunnah mengangkat tangan, mengatakan bahwa haditsnya hanya
dua di al-Bukhari, menganggap lemah. Maka kami mohon dikutipkan beberapa
hadits, kalau perlu sebanyak mungkin yang bapak temukan, agar lebih jelas,
lengkap dengan sanadnya.
Jawaban :
Untuk memenuhi permintaan Saudara memang
memerlukan waktu banyak sebab harus membaca beberapa kitab hadits, terutama syarahnya.
Sebab untuk memahami hadits tidak cukup hanya dari segi sanadnya saja, atau
hanya dari segi nahwunya, atau hanya dari segi matannya saja, melainkan harus
melihat juga dari berbagai segi, termasuk segi balaghahnya.
Baiklah
untuk menyingkat jawaban, kami kutip lebih dahulu hadits-hadits yang dapat kami
temukan menurut kemampuan kami, dan insya Allah kami jelaskan secara
singkat:
I.
Hadits-hadits yang mengungkapkan bahwa Nabi saw
mengangkat tangan ketika berdo’a, antara lain ialah:
1- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ
بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا يُونُسُ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنِ ابْنِ
عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا
بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ
حَتَّى يُسْهِلَ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ طَوِيْلاً
وَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْوُسْطَى ثُمَّ يَأْخُذُ
ذَاتَ الشِّمَالِ فَيَسْتَهِلُ وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ فَيَقُومُ
طَوِيلاً وَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ وَيَقُومُ طَوِيلاً ثُمَّ يَرْمِي
جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا ثُمَّ
يَنْصَرِفُ فَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)
1.
“Diceritakan kepada kami oleh ‘Utsman bin Syaibah, diceritakan kepada kami oleh
Thalhah bin Yahya, diceritakan kepada kami oleh Yunus, dari az-Zuhriy, dari
Salim, dari Ibni ‘Umar ra, bahwa dia (Ibni ‘Umar) melempar jamrah yang dekat
(pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan
kerikil, lalu maju hingga pada tempat yang rata dan berdiri menghadap qiblat
dengan berdiri lama dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya. Lalu
melempar jamrah wustha (kedua), lalu mengambil arah sebelah kiri dan
menginjak tanah yang datar dan berdiri menghadap qiblat dengan lama berdiri,
dan berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya dan berdiri lama, lalu
melempar jamrah ‘aqabah (ketiga) dari arah lembah dan tidak berhenti di
situ, kemudian meninggalkan tempat itu dan berkata: ‘Demikianlah saya melihat
Nabi saw mengerjakannya’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab
mengangkat kedua tangan, I:198).
2- حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللهِ قَالَ حَدَّثَنِي
أَخِي عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ يُونُسَ بْنَ يَزِيدَ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا
كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ ثُمَّ يُكَبِّرُ عَلَى
أَثَرِ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَتَقَدَّمُ فَيُسْهِلُ فَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ
الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ
يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى كَذَلِكَ فَيَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ
وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ قِيَامًا طَوِيلاً فَيَدْعُو وَ يَرْفَعُ
يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ ذَاتَ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي
وَلاَ يَقِفُ عِنْدَهَا وَيَقُولُ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَفْعَلُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)
2. “Diceritakan kepada kami
oleh Isma’il bin ‘Abdillah, ia berkata: diceritakan kepadaku oleh saudaraku,
dari Sulaiman, dari Yunus bin Yazid, dari Ibnu Syibah, dari Salim bin
‘Abdillah; bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar ra, melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan
tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju di
tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap ke qiblat, lalu berdo’a dengan
mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah wustha (tengah)
sebagaimana (melempar jamrah pertama), lalu mengambil arah kiri di tempat yang
datar dan berdiri lama dengan menghadap qiblat, lalu berdo’a dengan
mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah ‘aqabah (yang
terakhir) dari arah lembah dan tidak berhenti, dan berkatalah ‘Abdullah Ibnu
‘Umar: ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah mengerjakannya’.” (Diriwayatkan
oleh Al-Bukhariy, Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).
3- حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنِ
الزُّهْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا
رَمَى الْجَمْرَةَ الَّتِي تَلِي مَسْجِدَ مِنَى يَرْمِيهَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ
يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ تَقَدَّمَ أَمَامَهَا فَوَقَفَ
مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ يَدْعُو وَكَانَ يُطِيلُ
الْوُقُوفَ ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الثَّانِيَةَ فَيَرْمِيهَا بِسَبْعِ
حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ كُلَّمَا رَمَى بِحَصَاةٍ ثُمَّ يَنْحَدِرُ ذَاتَ الْيَسَارِ
مِمَّا يَلِي الْوَادِيَ فَيَقِفُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ
يَدْعُو ثُمَّ يَأْتِي الْجَمْرَةَ الَّتِي عِنْدَ الْعَقَبَةِ فَيَرْمِيهَا
بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عِنْدَ كُلِّ حَصَاةٍ ثُمَّ يَنْصَرِفُ وَلاَ يَقِفُ
عِنْدَهَا قَالَ الزُّهْرِيُّ سَمِعْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللهِ يُحَدِّثُ
مِثْلَ هَذَا عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري، كتاب الحج، ج:1، ص:198)
3. “Diceritakan kepada kami
oleh ‘Utsman bin ‘Umar, diceritakan kepada kami oleh Yunus, dari az-Zuhriy,
bahwa Rasulullah saw, apabila melempar jamrah yang berada di dekat Masjid Mina,
beliau melemparnya dengan tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan
satu kerikil, lalu maju ke depan dan berdiri sambil menghadap qiblat dan
berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, dan beliau berhenti lama,
lalu mendatangi jamrah kedua dan melemparnya dengan tujuh kerikil sambil
bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu turun ke arah kiri, di sebelah
lembah, dan berdiri menghadap qiblat serta berdo’a dengan mengangkat kedua
tangannya, lalu mendatangi jamrah ‘aqabah, lalu melemparnya dengan
tujuh kerikil sambil bertakbir setiap melemparkan satu kerikil, lalu pergi dan
tidak berhenti di situ. Az-Zuhriy berkata: ‘Saya mendengar Salim bin ‘Abdillah
menceritakan hadits seperti ini dari ayahnya, dari Nabi saw, dan Ibnu ‘Umar
melakukan (sebagaimana dilakukan Nabi saw)’.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy,
Kitab al-Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198).
4- حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ
عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ وَعَنْ يُونُسَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ
قَالَ بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ
الْجُمُعَةِ إِذْ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكَ الْكُرَاعُ
وَهَلَكَ الشَّاءُ فَادْعُ اللهَ أَنْ يَسْقِيَنَا فَمَدَّ يَدَيْهِ
وَدَعَا (رواه البخاري، كتاب الجمعة، باب رفع اليدين، ج:1، ص:109)
4. “Diceritakan kepada kami
oleh Musaddad, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Hammad bin Zaid, dari
‘Abdil-‘Aziz, dari Anas, dari Yunus, dari Tsabit, dari Anas, dia berkata:
Ketika Nabi saw berkhutbah pada hari Jum’at, berdirilah seseorang dan berkata:
‘Hai Rasulullah, lembu-lembu dan kambing-kambing telah mati, dan telah mati
pula biri-biri, maka berdo’alah kepada Allah agar Dia memberikan minum kepada
kita!’ Kemudian beliau mengulurkan kedua tangannya dan berdo’a.” (Diriwayatkan
oleh al-Bukhariy, Kitab al-Jumu’ah, bab raf’u- yadain, I:109).
5- حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا
أَبُو الْوَلِيدِ، قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ
بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أَصَابَتِ
النَّاسَ سَنَةٌ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فِي يَوْمِ
اْلجُمُعَةِ فَقَامَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلَكَ الْمَالُ
وَجَاعَ الْعِيَالُ فَادْعُ اللهَ لَنَا! فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَمَا نَرَى
فِي السَّمَاءِ قَزَعَةً فَوَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا وَضَعَهَا حَتَّى
ثَارَ السَّحَابُ أَمْثَالَ الْجِبَالِ ثُمَّ لَمْ يَنْزِلْ عَنْ مِنْبَرِهِ
حَتَّى رَأَيْتُ الْمَطَرَ يَتَحَادَرُ عَلَى لِحْيَتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَمَطَرَنَا يَوْمَنَا ذَلِكَ وَمِنَ الْغُدُوِّ وَبَعْدَ الْغُدُوِّ
وَالَّذِي يَلِيهِ حَتَّى الْجُمُعَةِ اْلأُخْرَى وَقَامَ ذَلِكَ اْلأَعْرَابِيُّ
أَوْ قَالَ غَيْرُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ تَهْدِمُ الْبِنَاءُ وَغَرَقَ
الْمَالُ فَادْعُ اللهَ لَنَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ
حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا فَمَا يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنَ
السَّحَابِ إِلاَّ انْفَرَجَتْ وَصَارَتِ الْمَدِينَةُ مِثْلَ الْجَوْبَةِ وَسَالَ
الْوَادِي قَنَاةً شَهْرًا وَلَمْ يَجِئْ أَحَدٌ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلاَّ حَدَّثَ
بِالْجُوْدِ (رواه البخاري، كتاب الجمعة، باب رفع اليدين، ج:1، ص:109)
5. “Diceritakan kepada kami
oleh Ibrahim ibnul-Munzir, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Abul-Walid,
ia berkata: diceritakan kepada kami oleh Abu ‘Umar, dan ia berkata: diceritakan
kepadaku oleh Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Malik, ia
berkata: Telah menimpa kepada manusia suatu musibah (kemarau) selama satu tahun
pada masa Nabi saw; Maka ketika beliau berkhutbah pada hari Jum’ah berdirilah
seorang Arab Badwi lalu berkata: ‘Hai Rasulullah, harta telah habis, dan
keluarga kehausan, maka berdo’alah kepada Allah bagi kita! Kemudian beliau mengangkat
kedua tangannya, dan kami tidak melihat sekelompok awan di langit, demi
Allah yang jiwaku berada di tangannya, beliau tidak meletakkan kedua tangannya
hingga awan menjadi tersebar di atas gunung-gunung, beliau pun tidak turun dari
mimbarnya hingga kami melihat hujan menetes di jenggot beliau, maka hujan pun
turun kepada kita sehari penuh, dari pagi hingga paginya lagi, dan seterusnya
hingga pada hari Jum’at berikutnya.’ Dan berdirilah orang Badwi tadi, atau
orang lainnya dan berkata: ‘Hai Rasulullah, bangunan banyak yang rusak, dan
harta banyak yang tenggelam, maka berdo’alah kepada Allah bagi kita!’ Kemudian
beliau mengangkat tangannya dan bersabda: ‘Ya Allah (turunkanlah rahmat)
kepada sekitar kami dan (janganlah menurunkan musibah) di sekitar kami’. Dan
tidaklah beliau memberikan isyarat dengan tangannya, melainkan hilanglah
kesedihan, dan menjadilah Madinah bagaikan ada suatu lobang dan mengalirlah
lembah itu bagaikan kanal selama satu bulan, dan setiap datang seseorang
dari suatu pelosok, ia bercerita tentang kemakmuran.” (Diriwayatkan oleh
al-Bukhariy, kitab Jumu’ah, bab mengangkat kedua tangan, I:109).
6- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلاَءِ حَدَّثَنَا أَبُو
أُسَامَةَ عَنْ بَرِيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى
قَالَ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ بِهِ
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعُبَيْدٍ أَبِي
عَامِرٍ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فَوْقَ كَثِيرٍ مِنْ خَلْقِكَ مِنَ النَّاسِ (أخرجه البخاري، كتاب
الدعوات، باب رفع اليدين، ج:4، ص:72)
6. “Disampaikan kepada kami
suatu hadits oleh Muhammad ibnul-A’la, disampaikan kepada kami suatu hadits
oleh Abu Usamah, dari Barid bin ‘Abdillah, dari Abi Burdah, dari Abi Musa, ia
berkata: ‘Nabi saw meminta air untuk wudlu, lalu mengangkat kedua tangannya,
lalu berdo’a: Ya Allah, ampunilah ‘Ubaid Abi ‘Amir, dan saya melihat
putihnya kedua ketiaknya, lalu berdo’a lagi: Ya Allah, jadikanlah ia pada
hari qiyamah di atas kebanyakan manusia dari makhluk-Mu’.” (Diriwayatkan
oleh al-Bukhariy, kitab ad-Da’awat, bab Do’a sesudah wudlu, IV:72).
7- حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ
فِي الدُّعَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء،
نمرة: 5/895)
7. “Diceritakan kepada kami
oleh Abu Bakr bin Abi Syaibah, diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Abi
Bukair, dari Syu’bah, dari Tsabit, dari Anas, ia berkata: ‘Saya melihat
Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a, sehingga
kelihatan putihnya kedua ketiaknya’.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat
al-Istisqa’, bab mengangkat tangan, No. 5/895).
8- أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هُشَيْمٍ قَالَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ قَالَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ
كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَاتٍ فَرَفَعَ
يَدَيْهِ يَدْعُو فَمَالَتْ بِهِ نَاقَتُهُ فَسَقَطَ خِطَامُهَا فَتَنَاوَلَ
الْخِطَامَ بِإِحْدَى يَدَيْهِ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَهُ اْلأُخْرَى (رواه النسائ،
كتاب مناسك الحج، ج: 5: 254)
8. “Dikhabarkan kepada kami
oleh Ya’qub bin Ibrahim, dari Husyaim, ia berkata: diceritakan kepada kami oleh
‘Abdul Malik, dari ‘Atha, ia berkata: Berkatalah Usamah bin Zaid: ‘Saya
membonceng Nabi saw di Arafah, maka beliau mengangkat kedua tangannya
sambil berdo’a, lalu untanya condong, dan jatuhlah tali kekangnya, lalu beliau
mengambil tali kekang tersebut dengan salah satu tangannya, dan beliau tetap
mengangkat tangan lainnya’.” (Diriwayatkan oleh an-Nasa’iy, kitab Manasik
al-Hajji, bab Raf’ul-yadain, V:254).
9- عَنْ سَلْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنَّ رَبَّكُمْ حَيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِ مِنْ
عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا (أخرجه
الأربعة إلا النسائ، و صححه الحاكم)
9. “Dari Salman ra, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Hidup lagi
Maha Dermawan, Dia malu kepada hamba-Nya apabila ia berdo’a dengan mengangkat
kedua tangannya, menolaknya dengan hampa’.” (Ditakhrijkan oleh al-Arba’ah,
kecuali an-Nasa’iy, dan menurut al-Hakim hadits tersebut adalah shahih;
as-Shan’aniy, 1961, IV:219).
10- وَ عَنْ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ
يَرُدَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ (أخرجه الترمذى و له شواهد منها
عند أبى داود من حديث ابن عباس و غيره و مجموعها يقضي بأنه حديث حسن)
10. “Dari ‘Umar ra, ia
berkata: ‘Apabila Rasulullah saw menjulurkan kedua tangannya ketika berdo’a,
beliau tidak menariknya, hingga mengusap wajahnya dengan kedua tangannya’.”
(Ditakhrijkan oleh at-Tirmuziy, hadits tersebut mempunyai beberapa syahid
(pendukung) antara lain ialah: Abu Dawud dari Ibni ‘Abbas dan lain-lainnya, dan
menurutnya hadits tersebut adalah hasan, As-Shan’aniy, 1961).
11- قَالَ أَبُو مُوسَى اْلأَشْعَرِيُّ دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُ بَيَاضَ
إِبْطَيْهِ وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَفَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدَيْهِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ
خَالِدٌ قَالَ أَبو عَبْدِ اللهِ وَقَالَ اْلأُوَيْسِيُّ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ وَ شُرَيْكٍ سَمِعَا أَنَسًا عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى
رَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ (رواه البخاري، كتاب الدعوات، ج:4، ص:68)
11. “Berkatalah Abu Musa
al-Asy’ariy: ‘Berdo’alah Nabi saw dengan mengangkat kedua tangannya, dan
saya melihat putihnya kedua ketiaknya’. Dan Ibnu ‘Umar berkata: ‘Nabi saw mengangkat
kedua tangannya (dan berdo’a): Ya Allah, sungguh saya mohon kepada-Mu
terbebas dari apa yang dilakukan oleh Khalid. Berkatalah Abu ‘Abdillah;
‘berkatalah al-Uwaisiy: diceritakan kepadaku oleh Muhammad bin Ja’far, dari
Yahya bin Sa’id dan Syuraik, keduanya mendengar Anas, dari Nabi saw (bahwa
beliau) mengangkat kedua tangannya (ketika berdo’a) hingga aku melihat
putihnya kedua ketiaknya.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy, kitab ad-Da’awat,
IV:68).
II. Hadits yang menyatakan tidak mengangkat
tangan.
1- حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي
عَدِيٍّ وَعَبْدُ اْلأَعْلَى عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ
فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلاَّ فِي اْلاِسْتِسْقَاءِ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ
إِبْطَيْهِ (رواه مسلم، كتاب صلاة الاستسقاء، نمرة: 5/895)
1.
“Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin al-Musanna, diceritakan kepada kami
oleh Ibnu Abi ‘Adiy dan ‘Abdul A’la dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas, bahwa
Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya sedikitpun ketia berdo’a,
kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga terlihat putihnya kedua
ketiaknya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al-Istisqa’, bab Raf’ul-yadain,
No. 5/895.
2- حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ
عَنِ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ حَدَّثَهُمْ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ (رواه مسلم، كتاب صلاة
الاستسقاء، نمرة: 6/895)
2. “Diceritakan kepada kami oleh
Ibnu al-Musanna, diceritakan kepada kami oleh Yahya bin Sa’id, dari Ibni Abi
‘Arubah, dari Qatadah, bahwa Anas bin Malik menyampaikan kepada mereka dari
Nabi saw hadits yang sama.” (Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat
al-Istisqa’, bab Raf’ul-yadain, No. 6/895).
Penjelasan :
Demikianlah hadits-hadits tentang
mengangkat tangan ketika berdo’a, yang sempat kami kutip. Sebenarnya masih
banyak hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a, tetapi
hadits-hadits yang kami kutip tersebut sudah cukup untuk dijadikan sebagai
dalil untuk memutuskan masalah yang saudara tanyakan itu.
Perlu
diketahui bahwa selama ini, dalam memutuskan hukum Muhammadiyah selalu
berpegang pada pokok-pokok manhaj sebagai berikut:
1. Dalam beristidlal,
selalu menggunakan sumber pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah as-Shahihah
(maqbulah=diterima). Ijtihad dapat dilakukan apabila masalah yang
dibahas tidak berkaitan dengan ta’abbudi.
2. Setiap
keputusan harus dilakukan dengan cara musyawarah (ijtihad jama’iy).
3.
Muhammadiyah tidak mengikuti salah satu mazhab dari mazhab-mazhab yang ada,
tetapi pendapat para imam mazhab dapat dijadikan sebagai pertimbangan, selama
tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
4. Jika
dalil-dalil yang dipergunakan tampak adanya ta’arud (pertentangan), maka
harus dilakukan al-jam’u wa at-taufiq atau dilakukan tarjih.
Demikanlah sebagian manhaj yang harus
diketahui dan dipergunakan dalam mengambil keputusan.
Hadits-hadits
yang kami kutip, sebagian besar menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat kedua
tangannya ketika berdo’a, dan sebagian ulama, antara lain: al-Qasthalaniy dalam
syarah hadits, dan as-Shan’aniy dalam Subulus-Salam, menilainya sebagai
hadits shahih, kecuali hadits No. 11, mereka tidak menilainya, apakah shahih
ataukah da’if, tetapi Ishaq al-Farayiniy, menilainya secara umum, bahwa semua
hadits yang termaktub dalam shahih al-Bukhariy dan Muslim telah disepakati oleh
sebagian besar ahli hadits tentang keshahihannya, baik sanad maupun matannya. (al-Qasimiy, 1961, Qawa’id at-Tahdis: 85).
Maka hadits No. 11, yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ariy adalah shahih,
sebab termuat dalam Shahih al-Bukhariy. Sekalipun demikian, masih terbuka untuk
menelitinya kembali, sehingga menjadi jelas kedudukannya.
Jika dibandingkan dengan hadits berikutnya,
yaitu hadits No. II.1. dan hadits No. II.2., maka tampak adanya ta’arud
(pertentangan). Hadits No. 1 sampai dengan No. 11 menyatakan bahwa Nabi saw
mengangkat tangannya ketika berdo’a, sedang hadits No. II.1. dan II.2.
menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya, kecuali
hanya pada waktu istisqa saja.
Karena pada dalil-dalil tersebut tampak
adanya ta’arud, maka untuk mengambil keputusan perlu menggunakan metode
al-jam’u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) antara kedua dalil
yang tampak bertentangan.
Al-Qasthalaniy
ketika mensyarah hadits al-Bukhariy tentang mengangkat kedua tangan ketika
berdo’a, mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan
hadits-hadits tersebut. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang
menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya sedikit
pun ketika berdo’a, kecuali pada waktu istisqa’ (mohon hujan), dia
menjelaskan bahwa yang ditiadakan ialah sifat khusus, yaitu al-mubalaghah fi
ar-raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), bukan mengangkat
tangan pada umumnya, artinya; bahwa Nabi saw ketika berdo’a juga mengangkat
tangan, tetapi tidak setinggi ketika berdo’a dalam istisqa’.
(al-Qasthalaniy, Syarh al-Bukhariy, IV:68).
As-Shan’aniy,
dalam kitabnya Subulus-Salam menjelaskan; bahwa hadits-hadits tentang
mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdo’a
adalah mustahabb, dan hadits-hadits yang memerintahkan agar mengangkat
kedua tangan ketika berdo’a jumlahnya cukup banyak. Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat
kedua tangannya ketika berdo’a, kecuali hanya ketika dalam istisqa’, dia
menjelaskan bahwa yang dimaksudkannya ialah al-mubalaghah fi ar-raf’i
(melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), yaitu mengangkat kedua tangannya
dengan amat tinggi, dan yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali ketika
berdo’a dalam istisqa’. Dan hadits-hadits tentang mengangkat kedua tangan
telah dikumpulkan dalam satu juz oleh al-Munziriy. (As-Shan’aniy, 1961,
IV:219).
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dua
kelompok hadits tersebut tidaklah bertentangan (ta’arud), sebab kedua
kelompok hadits tersebut masih dapat ditaufiqkan (dikompromikan).
Kesimpulan
:
Mengangkat
kedua tangan ketika berdo’a adalah sunnah atau mustahab, dan tidak perlu
mengangkat tinggi-tinggi, kecuali pada waktu berdo’a istisqa’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar