SEPUTAR SHOLAT
10. Shalat Qashar :
Saat bepergian shalat boleh diqashar, berdasarkan firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian
mengqashar shalat kalian, jika kalian takut diserang orang-orang kafir”.(
Q.S. 4 : 101 ).
Tsa’labah bin Umayah berkata : Aku telah bertanya kepada Umar r.a. tentang
firman Allah : (
(
= . . .,mengapa kalian mengqashar shalat kalian, jika kalian takut . . .”)
), sedangkan dewasa ini orang-orang telah aman. Umar menjawab : Aku kagum (
heran ) dari apa yang engkau herankan. Maka aku bertanya kepada Rasulullah
s.a.w. ( tentang firman Allah Ta’ala tersebut ), lalu beliau menjawab :
“Itu adalah sedekah dari Allah untuk kalian , maka terimalah oleh kalian
sedekahNya itu “.
Mengqashar shalat pada waktu sedang berpergian adalah lebih afdhal dari shalat
biasa, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Imran bin Hashin yang mengatakan :
“Aku berhaji dengan Rasulullah
s.a.w. maka beliau shalat dua rakaat. Aku bepergian dengan Abu Bakar maka dia
shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Aku bepergian dengan Umar maka dia
shalat dua rakaat sampai ia berangkat. Dan aku bepergian dengan Utsman maka ia
pun shalat dua rakaat selama enam tahun. Kemudian dia menyempurnakan ( shalat
)di Mina”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. dikemukakan :
“( Sebelum hijrah ) shalat difardukan ( hanya ) dua rakaat, kemudian itu
dikukuhkan untuk shalat ketika dalam bepergian dan shalat itu disempurnakan
untuk shalat ketika sedang berada di tempat”.
Shalat qashar hanya boleh dilakukan untuk perjalanan yang memakan
waktu dua hari, yakni sejauh empat barid, sebagaimana yang dikemukakan dalam
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bin Ibnu Abbas r.a. :
“ Mereka
berdua shalat dua rakaat berbuka puasa dalam perjalanan sejauh empat barid dan
dalam perjalanan lebih dari itu”.
‘Atha’ pernah bertanya kepada Ibnu Abbas :
“Apakah engkau mengqashar sampai ke Arafah ? Maka dia menjawab : Tidak. Ia
bertanya : Sampai ke Mina ? Maka dia menjawab : Tidak, akan tetapi sampai
ke Jeddah, ke ‘Usfan, dan ke Thaif”.
Malik berkata :
“Antara Mekkah, Thaif, dan ‘Usfan adalah empat barid”.
Satu barid adalah empat farsakh adalah tiga mil Hasyimi. Satu mil adalah
enam ribu sikut. Satu sikut adalah dua puluh empat telunjuk orang menengah.
Satu telunjuk adalah enam kali panjang bulu kalde yang berukuran menengah.
Inilah ukuran jarak tempuh yang membolehkan shalat diqashar menurut syara’.Bila
diukur berdasarkan kilometer adalah sama dengan delapan puluh satu kilometer.
Tidak ada perbedaan antara perbedaan antara perjalanan dengan menggunakan
pesawat udara, mobil, berjalan atau mengendarai binatang, kerena semua itu sama
merupakan bepergian yang membolehkan shalat untuk diqashar. Shalat tidak boleh
diqashar bilamana perjalanan yang ditempuh kurang dari seukuran di atas, sebab
Nabi s.a.w. pernah pergi ke Baqi’ untuk mengubur seseorang yang meninggal dunia
bersama masyarakat umum dan beliau saat itu tidak mengqashar shalat serta tidak
pula berbuka puasa. Seandainya semata-mata karena bepergian merupakan
satu-satunya agar shalat diqashar, niscaya beliau mengqasharnya. Tidak pula
diperbolehkan shalat diqashar kecuali setelah musafir keluar dari daerah
kediamannya.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian
mengqashar shalat kalian . . .” ( Q. S. 4 : 101 ).
Dalam ayat di atas ternyata mengqashar shalat dihubungkan dengan bepergian di
muka bumi. Ini berarti bahwa shalat baru diperbolehkan untuk diqashar ketika
musafir telah meninggalkan daerah kediamannya. Selanjutnya shalat tidak boleh
diqashar bagi musafir yang makmum kepada yang mukim. Maka jika dia makmum
kepada yang mukim dalah salah satu bagian dari shalatnya, kepadanya diharuskan
menyempurnakan bagian shalat tersebut seluruhnya.
Apabila seorang musafir bermaksud hendak menetap di suatu daerah, maka seketika
itu juga dia bukan lagi sebagai musafir sehingga baginya tidak lagi
diperbolehkan mengqashar shalat. Seandainya dia mengubah maksudnya untuk
tinggal di daerah tersebut, lalu setelah itu dia pun memperbaharui
perjalanannya, maka hal itu di anggap sebagai perjalanan baru. Sedangkan bila
dia tidak bermaksud hendak tinggal di sana akan tetapi karena keadaan
menghendaki agar tinggal di sana beberapa lama untuk memenuhi hajatnya, maka
dia dianggap sebagai musafir, yakni bahwa keberadaan dia di sana tidak
dianggap sebagai mukim sekalipun dia tinggal di sana beberapa hari lamanya,
baik lama tinggal di sana itu di ketahui maupun tidak, sama saja dia itu tetap
dianggap sebagai seorang musafir. Kasus ini seperti orang yang melakukan
perjalanan ke Eropa untuk tujuan bisnis, atau ke suatu negara untuk
mengetahui situasi dan kondisi pasarnya, atau dengan tujuan untuk berbelanja di
sana. Maka orang seperti ini dianggap sebagai musafir, sekalipun ternyata dia
tinggal di sana untuk beberapa hari lamanya, baik selama itu dia
berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain maupun tetap tinggal di
satu daerah, yakni status sebagai musafir tidak hilang dari dirinya, sekalipun dia
tinggal di sana beberapa hari lamanya karena dalam keadaan seperti ini dia
tidak dianggap sebagai mukim melainkan tatap sebagai musafir yang diperbolehkan
selamanya mengqashar shalat karena dia sebagai orang yang dikatagorikan sedang
bepergian.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Tamamah bin Syurahbil, dia berkata:
“Aku pergi menemui Ibnu Umar, lalu aku bertanya : Bagaimana shalat musafir
itu ? Maka dia menjawab : Dua rakaat-dua rakaat kecuali Maghrib tiga rakaat.
Aku bertanya : Apakah engkau tahu, jika kami berada di Dzul Majaz ? Dia
bertanya : Apa itu Dzul Majaz ? Aku menjawab : Itu adalah sebuah tempat , di
mana kami berkumpul dan berjual beli serta tinggl selama dua puluh atau lima
belas malam. Kemudian dia berkata : Wahai Rajul ! Engkau berada di Azarbaijan.
Aku tidak tahu ! Dia berkata : Empat atau dua bulan, sehingga engkau
menyaksikan mereka shalat dua rakaat-dua rakaat”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Yahya bin Abu Ishak, dia berkata :
“Aku mendengar Anas berkata : Kami pergi bersama Rasulullah s.a.w. dari
Madinah ke Mekkah. Maka beliau shalat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali
ke Madinah. Aku bertanya : Apakah kalian mukim di Mekkah untuk beberapa hari
lamanya? Dia menjawab : Kami mukim di sana selama sepuluh hari”.
Hadits ini dengan tegas mengemukakan, bahwa Nabi Muhammad
s.a.w.mengqashar shalat sejak beliau keluar dari Madinah sampai beliau kembali
ke Madinah lagi.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dikemukakan :
“Nabi s.a.w. mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas
hari “.
Hadits ini dengan jelas mengatakan , bahwa Rasulullah s.a.w. mengqashar
shalatnya selama beliau bermukim.
Dalam hadits yang diriwayatakan dari jabir r.a. dikemukakan :
“Nabi s.a.w. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar
shalat”.
Hadits inipun merupakan dalil yang menyatakan , bahwa beliau selalu
mengqashar shalatnya selama berada di Tabuk. Ternyata semua hadits
menceritahakan hal yang sama, yakni sesungguhnya beliau selalu mengqashar
shalatnya pada setiap kali pergi ke Madinah. Ketika beliau bermukim di luar
Madinah selama sepuluh hari, beliau mengqashar shalatnya. Ketika beliau
bermukim di luar Madinah selama sembilan belas hari, beliau mengqashar
shalatnya. Kemudian ketika beliau bermukim di luar Madinah selama dua puluh
hari pun, beliau mengqashar shalatnya. Tentang lama beliau bermukim di Mekkah
sepuluh hari dan di Tabuk dua puluh hari serta seperti yang dikemukakan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengerjakan shalat
dengan mengqasharnya selama sembilan belas hari, semua itu maksudnya bukan
ketentuan tentang batasan hari boleh mengqashar shalat melainkan itu semua
hanya merupakan penjelasan tentang peristiwa yang pernah dilalui oleh beliau
saja karena shalat qashar yang dikerjakan Rasulullah s.a.w. selama itu tidak
menolak atau tidak melarang shalat qashar pada waktu lama tinggal di suatu
tempat lebih dari seperti yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas. Hal ini
dengan alasan, karena lama tinggal yang dikemukakan dalam masing-masing hadits
tersebut berbeda, sehingga salah satu daripadanya tidak bisa dijadikan
referensi untuk menentukan batas diperbolehkan mengqashar shalat dan kita pun
tidak mendapatkan hadits yasng menentukan lama diperbolehkan mengqashar shalat
selama dalam perjalanan. Di samping itu kita pun dari hadits-hadits tersebut
mendapat petunjuk, bahwa pelaksanaan shalat qashar itu berkaitan erat dengan
tempat mukim musafir, tidak berkaitan dengan jumlah hari dia berada di suatu
daerah. Kita dalam hadits Anas r.a. mendapatkan pernyataan :
“Maka beliau shalat dua rakaat-dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah “.
Dalam hadits Ibnu Abbas kita mendapatkan pernyataan :
“Nabi s.a.w. mengerjakan shalat dengan mengqasharnya selama sembilan belas
hari “.
Kemudian dalam hadits Jabar dikemukakan :
“Nabi s.a.w. tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil mengqashar
shalat”.
Dalam hadits yang pertama dinyatakan shalat
dua rakaat-dua rakaatberkaitan dengan pernyataan “sampai kami kembali ke
Madinah dan lamanya mereka tinggal di Mekkah “. Kemudian dalam hadits
kedua dan ketiga dikaitkan dengan “qashar”. Penyebutan tentang
lama tinggal dan daerah dalam hadits-hadits tersebut hanya sebagai keterangan
waktu dan tempat yang dilalui saja, bukan merupakan kaitan antara lama waktu dengan
shalat qashar karena diperbolehkan mengqashar selama berada dalam katagori
muasfir telah dikukuhkan berdasarkan pengertian yang terkandung dalam
hadits-hadits tersebut dan dalam hadits-hadits tersebut tidak didapatkan
pengertian, baik secara tekstual maupun konstekstual, bahwa diperbolehkan
mengqashar shalat hanya sampai sejumlah hari tertentu saja. Oleh karena itu
hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk membatasi lama
diperbolehkan mengqashar shalat. Bahkan berdasarkan hadits-hadits tersebut,
kita mendapatkan petunjuk bahwa mengqashar shalat diperbolehkan selama
seseorang dikatagorikansebagai musafir, sekalipun ia lama sekali meninggalkan
tempat tinggalnya dan sekalipun ia lama sekali berada di suatu daerah. Selama
ia dikatagorikan musafir ia boleh mengqashar shalat sampai ia kembali berada di
daerah tempat tinggalnya atau ia berdomisili untuk menjadi warga di daerah
baru. Ketetapan ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari
Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. tinggal di Hunain empat puluh hari sambil
mengqashar shalat”.
Bepergian itu terhitung saat menunaikan shalat bukan saat tiba waktu keharusan
menunaikan shalat, karena yang diperhitungkan dalam shalat itu sendiri adalah
tentang cara pelaksanaannya bukan tentang keharusannya. Bilamana waktu shalat Zhuhur talah tiba dan
yang bersangkutanpun dapat menyempatkan untuk mengerjakannya, kemudian dia
pergi untuk melakukan perjalanan masih dalam kurun waktu shalat Zhuhur, mak
baginya diperbolehkanshalt qashar. Begitu juga bilamana waktu shalt Ashar
telah tiba, maka baginya diperbolehkan shalat Ashar dengan diqashar.
Kemudian bila ia sampai ke tempat tujuan ternyata waktu shalat Ashar masih ada.
Maka shalt Ashar yang telah dikerjakannya dengan diqashar tetap dianggap sah
karena yang diperhitungkan itu adalah pelaksanaan shalat bukan keharusan
menunaikan shalat.
11. Shalat Jama’:
Dalam bepergian yang membolehkan mengaqashar shalat diperbolehkan juga
menjama’nya, yakni antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan
Isya. Namun demikian, tidak diperbolehkan menjama’ shalat antara Ashar
dengan Maghrib dan antara Isya dengan Shubuh serta antara Shubuh dengan Zhuhur.
Ibnu Umar r.a. meriwayatkan:
“Rasulullah saw. bila benar-benar bepergian, maka beliau menjama’ antara
(shalat) Maghrib dengan (shalat) Isya”.
Anas r. a. telah meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. menjama’ antara (shalat) Zhuhur dengan (shalat) Ashar”.
Tidak didapatkan sebuah riwayat pun yang mengemukakan bahwa beliau pernah
menjama’ shalat selain shalat-shalat di atas, yakni selain shalat Zhuhur dengan
shalat Ashar dan shalat Maghrib dengan shalat Isya. Ketika urusan ibadah
itu bersifar “tauqifiyah” yang dibatasi oleh apa adanya sesuai dengan
yang telah digariskan oleh nash syar’i, maka shalat ini tidak bisa atau tidak
boleh dijama’ selain hanya shalat yang telah ditentukan oleh nash syar’I
tersebut saja. Kemudian daripada itu diperbolehkan menjama’ anatara shalt
Zhuhur dengan Ashar dan antara shalat Maghrib dengan Isya, baik dengan jama’
taqdim maupun dengan jama’ ta’khir, yakni shalat Ashar digabung dan
dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalt Zhuhr dan shalat Isya digabung dan
dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalat Maghrib (jama’ taqdim) atau shalat
Zhuhur digabung dan dilaksanakan pada waktu shalat Ashar dan shalat Maghrib
digabunga dan dilaksanakan pada waktu mengerjakan shalat Isya (jama’
ta’khir). Hanya saja bila yang bersangkutan saat tiba waktu Zhuhur atau
Maghrib masih berada di tempat, maka mengerjakan dengan cara jama’ taqdim
dianggap lebih afdhal. Sedang bila ia saat tiba waktu Zhuhur atau Maghrib
sudah meninggalkan tempat, maka mengerjakan shalt dengan cara jama’ ta’khir
dianggap lebih afdhal.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dikemukakan:
“Apakah tidak sebaiknya kuberitahukan kepada kalian tentang shalat yang
Rasulullah saw. saat matahari tergelincir sedangkan beliau masih berada di
rumah. (Maka ketika itu) beliau mendahulukan shalat Ashar pada waktu
(mengerjakan) shalat Zhuhur dan beliau menjama’ antara keduanya pada waktu
matahari telah tergelincir (zawal). Dan bilamana beliau sudah pergi
sebelum zawal, maka beliau pun menangguhkan shalat Zhuhur pada waktu
(mengerjakan) shalat Ashar, kemudian beliau menjama’ antara keduanya pada waktu
Ashar”.
Pada saat mengawali shalat, kepada yang bersangkutan diharapkan niat shalat
jama’ dan bilamana jama’ itu adalah jama’ taqdim, maka antara keduanya harus
dikerjakan secara berurutan. Bilamana seseorang melakukan shalat dengan
cara jama’ taqdim dan ia lebih dahulu sampai ke tampat tujuan lalu bermaksud
hendak mukim di sana sebelum waktu kedua tiba, maka jika shalat tersebut telah
selesai dikerjakan tetaplah jama’ tersebut sah adanya. Adapun bila
ternyata belum dikerjakan, maka shalat tersebut tidak boleh dijama’.
Menjama’ shalat ini telah dikukuhkan keabsahannya berdasarkan sunnah Nabi saw.
:
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r. a., dia berkata:
“Rasulullah saw. bilamana bepergian sebelum matahari tergelincir, maka
nemangguhkan shalat Zhuhur sampai tiba waktu shalat Ashar, kemudian beliau
menjama’ antara keduanya. Sedangkan bilamana matahari telah tergelincir
sebelum beliau berangkat, maka beliau pun shalat Zhuhur (terlebih dahulu),
kemudian beliau menaiki (hewan tunggangannya)”.
Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas r. a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana labih awal melakukan perjalanan, maka
beliau menangguhkan shalat Zhuhur pada waktu Ashar dan beliau mengangguhkan
shalat Masghrib sehingga beliau menjama’ anatara keduanya dan antara shalat
Isya sampai mega merah menghilang”.
Dalam hadits
yang diriwayatkan dari Mu’adz r. a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. dalam Perang Tabuk bilamana matahari telah
condong (tergelincir) sebelum beliau berangkat, maka beliau menjama’
anatara shalat Zhuhur dengan Ashar dan bilmana beliau berangkat sebelum
matahari tergelincir, maka beliau menangguhkan shalat Zhuhur sampai beliau
singgah untuk shalat Ashar. Dan dalam shalat Maghrib seperti itu, yakni
bilamana matahari telah tenggelam sebelum beliau berangkat, maka beliau
menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya dan bilamana beliau berangkat
sebelum matahari tenggelam, maka beliau pun menangguhkan shalat Maghrib sampai
beliau singgah untuk shalat Isya kemudian beliau menjama’ anatara keduanya”.
Semua hadits di atas adalah hadits-hadits shahih dan merupakan
dalil yang sangat jelas, bahwa menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar dan
antara shalat Maghrib dengan Isya, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir,
hukumnya boleh.
Di sini
tidak boleh dinyatakan, bahwa Allah Ta’ala telah menentukan waktu khusus untuk
setiap shalat, sehingga tidak boleh terjadi shalat dikerjakan sebelum waktunya
tiba dan bilamana sampai dikerjakan sebelum waktunya tiba, maka shalat tersebut
tidak sah. Begitu juga sesungguhnya shalat tidak boleh ditangguhkan sehingga
bilamana sampai dikerjakan setelah waktunya berlalu, maka shalat tersebut
hukumnya haram. Dan sesungguhnya waktu-waktu shalat itu telah ditetapkan
dengan mutawatir berdasarkan hadits-hadits mutawatir. Sedangkan tentang
diperbolehkan menjama’ shalat saat seseorang sedang bepergian ditetappan
berdasarkan hadits-hadits ahad. Maka oleh karena itu, tidak boleh sampai
terjadi hadits mutawatir ditinggalkan lalu hadits ahad dijadikan
pegangan. Persepsi seperti itu tidak boleh sampai terjadi dalam pemikiran
kita, karena menjama’ shalat pada waktu seseorang sedang bepergian tidak
berarti meninggalkan hadits mutawatir, melainkan hadits mutawatir tersebut
dibatasi keuniversalannya oleh hadits ahad, di mana hadits ahad bisa
difungsikan untuk membatasi makna umum yang terkandung dalam Al Qur’an dan
hadits mutawatir. Waktu-waktu shalat yang telah ditetapkan berdasarkan
hadits mutawatir adalah bersifat umum dan hadits ahad yang membolehkan shalat
dijama’, baik taqdim maupun ta’khir. Bagi musafir adalah merupakan
pengecualian. Dengan demikian, maka melaksanakan shalat tepat pada
waktunya seperti yang telah dikukuhkan oleh hadits mutawatir yang
bersifat umum tetap sebagaimana adanya. Begitu juga melaksanakan shalat
dengan cara dijama’, baik taqdim maupun ta’khir, bagi musafir adalah merupakan
pengecualian yang telah dikukuhkan oleh hadits-hadits shahih yang besifat
pengecualian dari hadits mutawatir yang bersifat umum.
Hanya saja menjama’ shalat ini hanya bisa dilakukan pada waktu wuquf di Arafah,
saat menghabiskan waktu sampai melewati tengah malam di Muzdalifah, ketika
bepergian yang menempuh jarak yang memperbolehkan musafir mengqashar shalat,
dan kala turun hujan.
Dalil yang menunjukkan, bahwa pada waktu wuquf di Arafah dan menghabiskan waktu
sampai melewati tengah malam di Muzdalifah boleh menjama’ shalat adalah hadits
yang meriwayatkan:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah menjama’ shalat ketika beliau berada di Arafah
dan di Muzdalifah”.
Sedangkan dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat ketika sedang bepergian,
adalah: Sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan diperbolehkannya menjama’
shalat dalam selain karena hujan, semua itu menunjukkan hanya terjadi pada
waktu bepergian saja. Hal ini tampak dengan jelas dari ungkapan-ungkapan
hadits di atas yang berlainan, yakni:
((
= bilamana beliau benar-benar bepergian)), ((= bilamana beliau lebih
awal melakukan perjalanan)), dan sebagainya yang kesemuanya itu menunjukkan
tentang bepergian. Dalam sebagian riwayat dengan tegas dikemukakan “dalam
bepergian “, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriway tkan oleh
Ibnu Abbas r.a. :
“Rasulullah s.a.w.dalam suatu perjalanan telah menjama’ antara shalat Zhuhur
dengan shalat Ashar bila beliau berada di atas hewan tunggangannya, dan beliau
pun menjama’ antara shalat Maghrib dengan shalat Isya”.
Masih dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang diterima dari
Nabi s.a.w. dikemukakan :
“Nabi s.a.w. pada waktu bepergian bilamana matahari telah condong
(tergelincir) sedang beliau masih berada dirumahnya, maka sebelum beliau
menaiki hewan tunggangannya terlebih dahulu beliau menjama’ antara shalat
Zhuhur dengan Ashar. Maka bilamana matahari belum tergelincir sedang beliau
masih berada di rumahnya, beliau pun berangkat sampai waktu shalat Ashar
tiba, lalu beliau menjama’ antara shalat Zhuihur dengan shalat Ashar. Dan
bilamana waktu shalat Maghrib tiba sedang beliau maasih berada di rumahnya,
maka beliau manjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya serta bilamana waktu
shalat Maghrib belum tiba sedang beliau masih berada di rumahnya, maka beliau
pun menaiki hewan tunggangannya sampai ketika waktu shalat Isya tiba, turunlah
beliau (dari kendaraannya) lalu menjama’ antara keduanya (Maghrib dan Isya)”.
Semua hadits ini membicarakan tentang shalat jama’ yang dihubungkan atau
di latar-belakangi oleh adanya bepergian. Yang dimaksud dengan bepergian
di sini adalah bepergian yang membolehkan shalat diqashar karena huruf (
( ) ) yang
ada pada lafadz (
(
) ) dalam hadits-hadits di atas berfungsi sebagai (
(
) ), yakni perjalanan yang dijanjikan (ditentukan), yaitu :
Perjalanan (bepergian) menurut syara’ yang membolehkan shalat diqashar
karenanya.
Adapun dalil yang menunjukkan boleh menjama’ shalat karena turun hujan adalah
hadits yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya Abu Salamah bin Abdurrahman berkata
:
“Sesungguhnya menjama’ antara shalat Maghrib dengan Isya ketika hari turun
hujan adalah merupakan sunnah (Rasulullah s.a.w.)”. ( H. R. Al Atsram
).
Pernyataan Abu Salamah bin Abdurrahman : (
(
= merupakan sunnah ) ) maksudnya adalah sunnah Rasulullah
s.a.w. Dengan demikian , maka pernyataan tersebut dianggap hadits Nabi
s.a.w.
Hisyam bin ‘Urwah telah berkata :
“Aku melihat Abban bin Utsman ketika malam turun hujan menjama’ antara dua
shalat, Maghrib dan Isya. Maka ikut pula bersamanya mengerjakan kedua shalat
tersebut ‘Urwah bin Az Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman , dan Abu Bakar bin
Abdurrahman. Sedang mereka tidak mengikari apa yang dilakukannya dan bagi
mereka pada masa itu tidak dikenal ada yang menyalahi (menentang ), sehingga
hal tersebut menjadi konsensus”. ( Diriwayatkan oleh Al Atsram ).
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. dikemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. di Madinah ketika turun hujan beliau telah menjama’
antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar “.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas
dikemukakan pula :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah mengerjakan shalat di Madinah sebanyak tujuh
dan delapan (rakaat), yakni : ( Empat rakaat ) shalat Zhuhur. ( empat rakaat ) shalat Ashar, ( tiga
rakaat ) shalat Maghrib, dan ( empat rakaat ) shalat Isya. Maka Ayyub
berkata : Kiranya beliau ( menjama’nya) pada malam ketika turun hujan. Dia
berkata : Begitulah kiranya”* (H.R. Bukhari).
Pengertian tentang turun hujan seperti yang dikemukakan dalam hadits ini telah
dinyatakan pula oleh Imam Malik sesudah dia meriwayatkan hadits tersebut. Semua
dalil di atas menunjukkan , bahwa menjama’ shalat, baik taqdim maupun ta’khir,
ketika turun hujan hukumnya boleh. Yang dimaksud dengan hujan di sini adalah
semata-mata hujan yang dapat membasahi pakaian, tanpa pertimbangan ; apakah
hujan tersebut menimbulkan kesulitan atau tidak, sebagaimana dikemukakan dalam
sebuah hadits :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ shalat ketika turun hujan,
sementara antara kamar rumah beliau dengan masjidnya tidak ada apa-apa”.
Begitu juga tanpa pertimbangan ; apakah hujan itu turun ketika yang
bersangkutan masih berada di masjid maupun di rumah, baik hujan itu turun saat
ia takbiratul ihram maupun hujan tersebut ternyata tidak jadi turun. Hal ini dengan alasan, karena hadits di
atas tidak mengemukakan kesulitan sebagai alasan diperbolehkannnya menjama’
shalat sebagai akibat yang ditimbulkannya. Maka oleh karenanya, ketentuan ini
bersifat “tauqifi “ dan dengan alasan, karena hujan tersebut apakah
turun ketika beliau sedang berada di masjid atau di tempat lain, ternyata tidak
didapatkan nash yang mengemukakannya sehingga keumumannya tetap seperti apa
adanya. Lebih dari itu, sebagaimana telah ditegaskan :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. menjama’ (shalat ) ketika beliau sedang
berada di rumah isteri-isterinya sampai ketika berada di masjid “.
Begitu juga dengan alasan, karena dalam hadits-hadits di atas pun
dikemukakan dengan ungkapan : (
(
= hari turun hujan ) ), (
(
= ketika turun hujan) ),dan seperti yang dikatakan oleh Ayyub ( (
= pada malam ketika turun hujan ) ), semua ini maksudnya adalah pada
waktu musim penghujan, bukan semata-mata karena hujan benar-benar turun saat
takbiratul ihram ( pada waktu shalat sedang dikerjakan ). Selanjutnya dengan alasan, karena penyebab
diperbolehkannya menjama’ shalat di sini adalah semata-mata karena adanya
alasan yang membolehkan shalat dijama’ seperti halnya bepergian. Maka begitu
pula halnya dengan hujan, baik hujan itu menimbulkan kesulitan maupun tidak,
baik ketika yang bersangkutan sedang berada di masjid maupun berada di tempat
lain.
Adapun selain karena sedang wukuf di Arafah, di Muzdalifah, sedang bepergian,
dan karena hujan, maka menjama ‘shalat tidak diperbolehkan dengan mutlak.
Alasan-alasan ini tidak boleh dijadikan analogi bagi yang lain dengan alasan
adanya kesulitan, karena dalam selain alasan-alasan di atas tidak didapatkan
alasan yang membolehkan shalat dijama’ dan dikarenakan sesungguhnya “kesulitan”
tidak dikemukakan dalam hadits-hadits tersebut sebagai alasan syar’i sehingga
shalat boleh dijama’ karenanya. Analogi tidak berfungsi jika tanpa alasan
(‘illat), terutama dalam urusan ibadah, tidak boleh dicari-cari ‘illatnya dan
tidak boleh dijadikan analogi. Adapun tentang hadits Ibnu Abbas r.a. yang
mengemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan Ashar
dan antara shalat Maghrib dengan Isya di Madinah tanpa alasan karena takut dan
turun hujan “.
Kemudian hadits Ibnu Mas’ud yang berbunyi :
“Rasulullah s.a.w. telah menjama’ antara shalat Zhuhur dengan shalat Ashar
dan antara shalt Maghrib dengan shalat Isya. Maka kepada beliau ditanyakan
tentang hal itu. Kemudian beliau menjawab : Aku melakukan hal itu agar
umatku tidak mendapatkan kesulitan(karenanya) “.
Begitu juga hadits -hadits yang mengemukakan tentang menjama’
shalat dengan mutlak bukan karena bepergian atau karena hujan, maka janganlah
kita ini sampai beramal dengan hadits-hadits itu, bukan seharusnya kita
meninggalkannya karena hadits-hadits itu berlawanan dengan hadits qath’i yang
mutawatir. Sesungguhnya khabar (hadits) ahad bilamana berlawanan dengan Al Qur’an
atau dengan hadits mutawatir, maka yang diambil adalah Al Qur’an atau hadits
mutawatir serta hendaklah hadits ahad ditolak, karena hadits ahad bersifat
zhanni sedang hadits mutawatir bersifat qath’i. Begitu pula halnya bila antara
keseluruhannya tidak bisa dipadukan, maka yang bersifat zhanni harus ditolak dan
yang bersifat qath’i harus di ambil. Dan ternyata di sini bahwa perihal waktu
shalat telah dikukuhkan dengan mutawatir. Dengan demikian, meninggalkan atau
tidak mengindahkan waktu shalat seperti yang telah digariskan dengan cara
menjama’ shalat, baik jama’ taqdim maupun jama’ ta’khir karena berpedoman pada
khabar ahad yang berlawanan dengan hadits mutawatir adalah tidak diperbolehkan.
Hal ini dengan alasan, karena tindakan itu merupakan sikap berpaling dari yang
qath’i dan bertumpu pada yang zhanni. Di sini jangan sampai dikatakan :
Sesungguhnya zhanni diperbolehkan hanya untuk suatu hajat atau karena suatu
halangan, boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan dengan alasan, karena
hadits-hadits yang membolehkan menjama’ shalat selain karena bepergian dan karena
hujan bersifat mutlak, tidak terikat oleh sesuatu. Kemudian apabila terikat
oleh suatu hajat tertentu atau oleh hal yang lain, sudah barang tentu hajat itu
bersifat khusus dan pasti diambilnya seperti halnya karena bepergian,
umpamanya. Akan tetapi nash hadits-hadits tersebut ternyata bersifat mutlak
(umum), sehingga oleh karenanya kita tidak boleh menambah sesuatu apapun ke
dalamnya yang berasal dari diri kita atau suatu batasan yang tidak dikemukakan
oleh nash sehingga kita pun tetap membiarkan hadits-hadits tersebut bersifat
mutlak sebagaimana adanya. Di samping hadits-hadits di atas itu bersifat mutlak
ternyata hadits-hadits yang mengemukakan tentang pembagian waktu shalat yang
bersifat mutawatir itu pun adalah mutlak juga, sehingga keduanya berlawanan
serta menyatukannya juga tidak bisa dilakukan, maka dalam keadaan seperti ini
yang harus dijadikan pegangan adalah hadits-hadits mutawatir saja dan
hadits-hadits yang membolehkan shalat dijama’ bukan karena bepergian atau bukan
karena hujan tidak boleh tidak harus ditinggalkan.
Bagi musafir selamanya boleh menjama’ shalat sekalipun ia bepergian untuk
jangka waktu lama. Namun bila ia berdomisili di suatu daerah, hendaklah
diperhatikan : Apabila ia memutuskan untuk dijadikan daerah itu sebagai tempat
tinggalnya, terputuslah statusnya sebagai seorang musafir sehingga ia tidak
lagi diperbolehkan menjama’ shalatnya. Hal ini seperti orang yang pergi dari
kota Al Quds ke Riyadh, lalu dijadikannya sebagai tempat tinggal karena ia
bekerja di sana. Maka begitu ia sampai di Riyadh seketika itu juga lepaslah
statusnya sebagai musafir, sehingga ia pun tidak lagi diperbolehkan menjama’
shalat. Adapun jika ia tidak menjadikannya sebagai tempat tinggal walau dalam
kenyataannya ia tinggal di sana karena memang pekerjaan, seperti bisnis
dan sejenisnya, menghendaki agar ia berada di sana, maka baginya boleh menjama’
shalat sekalipun ia berada di Riyadh untuk jangka waktu yang lama, yakni sampai
ia kembali ke kota Al Quds sebagai tempat tinggalnya.
12.
Shalat Qadha :
Menangguhkan shalat sampai habis waktunya dengan sengaja tanpa ada halangan
yang dibenarkan oleh syara’ hukumnya haram dengan qath’i berdasarkan nash
Al Qur’an :
Firman Allah
Ta’ala :
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, ( yaitu ) orang-orang yang
lalai dari shalatnya” (Q. S. 107 : 4 - 5 ).
Firman Allah Ta’ala :
“Maka datanglah sesudah mereka , pengganti ( yang jelek ) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan” ( Q. S. 19 :
59 ).
Ketetapan inipun dikukuhkan oleh pengertian hadits-hadits mutawatir yang
menjelaskan tentang waktu shalat. Allah s.w.t. telah menentukan bagi setiap
shalat fardu waktu tersebut dari dua sisi ; waktu tertentu saat shalat
dikerjakan ; dan waktu tertentu saat shalat dianggap tidak sah sekalipun
dikerjakan.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Barang siapa melalaikan shalat Ashar, seolah-olah ia telah merelakan keluarga
dan hartanya pincang “.
Sabda Rasulullah s.a.w. tentang menta’khirkan shalat dari waktunya :
“Bukan dalam tidur kekurangan itu ( terjadi ) melainkan dalam bangun”.
Sedangkan melalaikan shalat dikarenakan ada udzur syar’i
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh nash syar’i, maka bagi yang
bersangkutan tidak berdosa. Orang yang mendapat keringanan seperti ini, yaitu
orang yang lupa, orang yang ketiduran, dan orang yang tidak dapat mengerjakan
shalat karena tidak mendapatkan air atau tanaha untuk bersuci (wudhu).
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Barangsiapa tidak shalat karena tidur atau karena lupa , maka shalatlah
ketika ia ingat “.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Barangsiapa seseorang di antara kalian tidak shalat karena tidur atau
karena lupa , maka shalatlah ketika ia ingat”.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Bilamana kalian diperintah (untuk mengerjakan ) sesuatu, maka laksanakanlah
hal itu sedapat mungkin”.
Makna dari hadits ini, yaitu : Bahwa apa yang benar-benar tidak dapat
kita lakukan, maka kita pun tidak dituntut agar melakukannya, sebagaimana
difirmankan oleh Allah Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”(
( Q. S. 2 : 286 )
Barangsiapa
meninggalkan shalat fardu baik karena udzur maupun karena tanpa udzur, maka ia
harus mengqahdanya karena semata-mata mengqadha shalat telah dikukuhkan oleh
hadits shahih.
“Kami
pernah bepergian bersama Nabi s.a.w. dan kami berjalan di malam hari sampai
ujung malam (larut malam) , sehingga kami tertidur dengan nyenyak dan (kiranya)
bagi seorang musafir tidak ada tidur senyenyak itu. Maka kami pun tidak
bangun melainkan karena panas matahari. Kemudian ketika Nabi s.a.w.
bangun, mereka mengadukan apa yang telah terjadi menimpa mereka, lalu beliau
bersabda : Tidak bahaya dan tidak membahayakan, berangkatlah kalian ! Maka mereka pun berangkat. Kemudian beliau
juga berangkat (menuju tempat ) yang tidak begitu jauh, lalu berhenti dan
meminta air untuk wudhu. Maka berwudhulah beliau dan dikumandangkan pula
panggilan untuk shalat, sehingga beliau shalat dengan (mengimami) orang-orang”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir
r.a. dikemukakan
“Sesungguhnya
Umar bin Khaththab r.a. pada waktu perang Khandaq dia baru tiba (bergabung
kepada satuannya ) setelah matahari tenggelam karena dia (terlena) memaki kaum
kuffar Quraisy. Dan (setelah itu) ia berkata : Ya Rasulullah
! Hampir saja aku tidak shalat Ashar, sehingga matahari pun hampir
tenggelam. Maka Nabi s.a.w. bersabda : Demi Allah ! Aku pun belum
mengerjakan shalat Ashar. Maka kami pergi ke tempat yang luas dan beliau
pun wudhu untuk shalat, lalu kami juga wudhu untuk shalat. Sesudah itu beliau
shalat Ashar sesudah matahari terbenam baru kemudian beliau shalat Maghrib”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari
Anas r.a. dikemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :
Barangsiapa lupa akan shalat, maka shalatlah ketika dia teringat. Tidak ada
tebusan baginya kecuali dengan shalat lagi”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu
Sa’ad r.a. dikemukakan :
“Pada waktu perang Khandak kami tertahan
dari mengerjakan shalat sehingga kami baru menghindar sesudah Maghrib, ketika
malam mulai beranjak gelap. Dan hal itu sebagaimana dinyatakan dalam firman
Allah : ( Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan . Dan
Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa ).Dan berkata : Kemudian Rasulullah s.a.w.
memanggil Bilal (agar menyeru orang-orang untuk shalat), lalu dia iqomah Zhuhur
dan beliau pun shalat Zhuhur serta membaguskannya sama seperti ketika beliau
mengerjakan shalat Ashar pada waktunya. Kemudian beliau menyuruh dia agar
iqomah Maghrib dan beliau pun shalat Maghrib”.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Rasulullah s.a.w. dikemukakan :
“Bahwasanya
ketika seorang budak perempuan dari kaum Khats’amiah bertanya kepadanya dengan
kata-kata : Ya Rasulullah , sesungguhnya ayahku mendapatkan keharusan berhaji
dalam keadaaan sudah sangat lanjut usia, sehingga dia tidak lagi kuasa untuk
berhaji. Apakah bila aku berhaji atas namanya , hal itu bermanfaat baginya
? Maka beliau menjawabnya : Tahukan engkau apakah bila ayahmu berutang
lalu engkau melunasinya, bukankah hal itu bermanfaat baginya ? Dia
berkata : Ya ! Beliau bersabda : Maka oleh karena itu, utang kepada Allah sudah
barang tentu lebih berhak untuk dibayar”.
13.
Shalat Orang Sakit
Pada
waktu seseorang sudah tidak kuasa lagi mengerjakan shalat walau hanya dengan
memberi isyarat, maka padanya tidak lagi diwajibkan shalat karena tidak
didapatkan nash yang mewajibkan apapun sesudah itu. Sama dengan orang
yang tidak kuasa beridiri, kepada orang yang menemukan kesulitan untuk berdiri
atau dapat menimbulkan penyakitnya bertambah parah bila ia berdiri tidak
diharuskan shalat sambil berdiri.
Dalam sebuahhadits yang diriwayatkan oleh
Anas r.a. dikemukakan:
“Rasulullah saw. pernah terjatuh dari kuda
sehingga beliau terluka atau terkilir betis kaki kanannya. Maka kamipun
datang untuk menjenguknya, lalu saat shalat pun tiba sehingga beliau shalat
sambil duduk dan kami juga shalat dibelakangnya sambil duduk”.
Saat
itu luka yang dirasa oleh Rasulullah saw. tidak sampai membuat beliau tidak
kuasa berdiri, tetapi telah membuatnya menemui kesulitan untuk berdiri sehingga
beliau shalat sambil duduk. Hal ini merupakan dalil, bahwa semata-mata ditemukan
kesulitan dalam beridiri maka shalat fardhu doleh dikerjakan sambil duduk.
14. Shalat Jum’at:
Shalat Jum’at hukumnya fardu ‘ain atas setiap kaum muslimin, sebagaimana
difirmankan oleh Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk mengerjakan shalat pada
hari Jum’at, maka bergegaslah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli” (QS. 62: 9)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thariq bin Syibab dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: (Shalat) Jum’at adalah hak kewajiban
atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah, kecuali kepada yang
empat: Hamba sahaya, perempuan, anaka kecil, dan orang sakit”.
Dalam hadits
yang diriwayatkan dari Hafshah r.a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Pergi (untuk mengerjakan
shalat) Jum’at adalah wajib atas setiap orang yang telah mimpi bersetubuh”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r. a. dikemukakan:
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda: Barangsiapa meninggalkan
(shalat) Jum’at tiga kali tanpa alasan, maka hatinya tertutup”.
Shalat Jum’at pertama kali difardukan di Madinah ketika ayat
tentang shalat Jum’at diturunkan, sehingga surah Al Jumu’ah termasuk ke dalam
ayat-ayat (surah-surah) Madaniah.
Adapun
tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abdun bin Hamid dan Abdurrazaq dari
Muhammad bin Sirin telah berkata:
“Penduduk Madinah telah berkumpul sebelum Nabi saw. tiba dan sebelum surah
Al Jumu’ah diturunkan. Kemudian kaum Anshar berkata kepada orang-orang
Yahudi peda hari di mana setiap minggu mereka berkumpul dan kepada orang-orang
Nashrani pun begitu juga, lalu marilah kita juga mengadakan suatu hari di mana
kita pun pada hari itu pun kita berkumpul mengingat untuk Allah Ta’ala dan
bersyukur kepada-Nya. Maka mereka menjadikannya sebagai hari “Arubah” dan
mereka pun berkumpul di As’ad bin Zararah, lalu tida saat itu shalat dua rakaat
sambil mengimami mereka dan mengingatkannya. Kedmudian mereka menamai
hari saat mereka berkumpul di As’ad bin Zararah dengan hari Jum’at dan
As’ad juga menyembelih seekor kambing untuk mereka, sehingga mereka pun makan
pagi dan makan malam daripadanya. Maka saat itu Allah Ta’ala menurunkan
ayat tentang Jum’at sesudah ayat: (Hai orang-orang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at… al ayah)”.
Beigitu juga tentang hadits Ka’ab dan hadits-hadits lain yang
menyebutkan mula pertama shlat Jum’at disyari’atkan dalam Islam yang terjadi di
rumah As’ad bin Zararah di mana Mush’ab juga ikut serta melaksanakan shalatnya,
maka semua hadits tersebut adalah hadits-hadits ahad yang bersifat zhanni dan
berlawanan dengan nash yang bersifat qath’I, yakni ayat tentang shalat Jum’at
yang tergolong ke dalam ayat-ayat Madaniah yang diturunkan langsung di Madinah
dan keharusan melaksanakan shalt Jum’at juga terjadi di Madinah. Oleh karena itu, maka dimungkinkan
hadits-hadits di atas bahwa Nabi saw. pernah meminta kepada mereka agar
mengerjakan shalat sunat dua rakaat. Hal ini berdasarkan petunjuk yang
tampak dengan jelas sebagaimana dikemuakkan dalam sebahagian riwayat:
“Sesungguhnya Nabi saw. telah menyuruh Mush’ab bin ‘Umair seraya bersabda
kepadanya: Bilamana hari telah condong dari garis tengahnya, ketika matahari
telah tergelincir, dari hari Jum’at, maka bertaqarrublah kalian kepada Allah
Ta’ala dengan (mengerjakan shalat) dua rakaat”.
Maka makna yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw.
((
= bertaqarrublah kelaian kepada Allah Ta’ala)) tidak menunjukkan bahwa
perintah tersebut sebagai fardu melainkan hanya sunat saja sehingga dalil
qath’I, yakni kedudukan ayat tentang shalat Jum’at dikukuhkan sebagai firman
Allah yang diturunkan di Madinah sebagai dalil bahwa shalat Jum’at hukumnya fardu,
adalah merupakan dalil yang menunjukkan sesungguhnya shalat Jum’at itu
difardukan di Madinah. Sedang yang yang dimaksud dengan firman Allah
Ta’ala
((
= apabila diseru)) adalah: “Bila dikumandangkan adzan” karena
yang dimaksud dengan seruan dalam ayat tersebut tidak lain adalah adzan, yakni
adzan saat imam telah naik ke atas mimbah untuk berkhutbah di mana pada masa
Nabi saw. beliau mempunyai seorang muadzdzin, lalu katika beliau duduk di atas
mimbah muadzdzinnya (Bilal r. a.) segera adzan pada pintu Masjid Nabawi dan
ketika beliau turundari mimbar seusai khutbah maka dia pun segera iqamah untuk
mengerjakan shalat Jum’at. Kemudian pada masa Abu Bakar dan Umar r.a.
juga tata tertib ibadah Jum’at pun sama seperti yang dilaksanakan pada masa
Nabi saw. Baru tata tertib itu mengalami perubahan pada masa Utsman di
mana jumlah masyarakat bertambah banyak dan rumah-rumah pun berjauhan, sehingga
adzan dikumandangkan dua kali; pertama dikumandangkan di rumah Utsman yang
diberi nama “Az Zuara” dan kedua ketika Utsman telah naik mimbar, kemudian
dikukandangkan iqamah bila dia turun dari mimbar seusai berkhutbah. Kasus
ini dilakukannya dengan disaksikan dan diikuti oleh para shahabat Nabi saw.
namun mereka diam saja padahal seharusnya bila hal tersebut dianggap menyimpang
niscaya akan dikemukakannya. Maka sikap diam mereka itu adalah sebagai
konsensus (ijma’) dan ijma’ ini adalah merupakan salah satu dalil syara’ dalam
ibadah, muamalah, hukuman (‘iqab), dan seluruh hukum syara’.
Shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada anak kecil, orang gila, hamba sahaya,
perempuan, orang sakit, orang ketakutan dan musafir. Sedangkan kepada
selain mereka, shalat Jum’at hukumnya fardu ‘ain. Alasan shalat Jum’at
tidak diwajibkan kepada anak kecil dan orang gila, karena mereka berdua itu
tidak dikenai beban syar’I sehingga oleh karenanya shalat Jum’at pun tidak
wajib bagi mereka begitu juga shalat-shalat fardu yang lain. Alasan
shalat Jum’at tidak diwajibkan kepada hamba sahaya, perempuan dan orang sakit,
karena mereka adalah orang-orang yang dikecualikan sebagaimana telah
dikemukakan dalam hadits Thariq di atas, yakni:
“Sesungguhnya Nabis aw. Telah bersabda: (Shalat) Jum’at adalah hak dan
kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah, kecuali
keapada yang empat: Hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang sakit”.
Alasan shalat Jum’at tidak diwajibakan kepada orang ketakutan,
karena orang ini adalah orang yang dikecualikan sebagaimana telah ditegaskan dalam
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda: Barang siapa mendengar seruan
(adzan) lalu tidak menyambutnya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena
ada udzur. Mereka (para shahabat) bertanya: Ya Rasulallah !
Udzur apakah ini? Beliau menjawab: Takut atau sakit”.
Adapun dalil yang meniadakan wajiba shalat Jumat bagi musafir
adalah hadits yang diriwayatkan dari Az Zuhri yang mengisahkan tentang dirinya
ketika bermaksud hendakbepergian di pagi hari (saat untuk mengerjakan shalat
dhuha) pada hari Jum’at, lalu hal itu ditanyakan kepadanya. Maka dia
menjawab:
“Sesungguhnya nabi saw. juga pernah bepergian pada hari Jum’at”.
Dalam hadits lain diriwayatkan:
“Nabi saw pada waktu menunaikan haji wada’, pada waktu beliau wuquf di
arafah, yang bertepatan dengan hari Jum’at belaiu hanya mengerjakan shalat
dzuhur dan ashar dengan jama’ taqdim serta beliau tidak mengerjakan shalat Jum’at”.
Jabir r.a.
dalam salah satu hadits yang diriwayatkannya berkata:
“Rasulullah saw. telah bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka kepadanya harus mengerjakan shalat kecuali bagi perempuan, atau musaffir,
atau hamba sahaya, atau orang sakit”.
Jabir bin Manshur meriwayatkan:
“Sesungguhnya Abu Ubaidah pernah bepergian pada hari Jum’at dan dia tidak
menunggu shalat (Jum’at)”.
Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a. bahasanya dia melihat seorang
laki-laki sedang bepergian, lalu dia mendengarnya berkata:
“Seandainya hari ini bukan hari Jum’at niscaya aku keluar. Maka Umar pun
berkata: Berangkatlah, karena hari Jum’at (shalat Jum’at) tidak menahanmu untuk
bepergian”.
Mereka semuanya adalah orang-orang yang dikecualikan dari keharusan
mengerjakan ibadah (shalat) Jum’at berdasarkan beberapa nash yang telah
dikemukakan di atas. Sedangkan selain mereka tidak didapatkan nash yang
mengecualikannya, sehingga shalat Jum’at hukumnya fardhu ‘ain atas mereka.
Beberapa udzur syar’i tersebut tidak bisa dijadikan analogi ( qias ) sebab
udzur syar’i adalah nash syara’ yang bersifat khusus bagi kasus tertentu,
ibadah-ibadah yang lain tidak bisa diqiaskan kepadanya karena dalam-ibadah
tersebut tidak ditemukan nash syara’ yang menjadi ‘illat sehingga qias
(analogi) bisa diterapkan dalam ibadah-ibadah tersebut. Bagi orang yang tidak
dikenai keharusan ibadah shalat Jum’at boleh memilih antara mengerjakan shalat
Zhuhur dengan shalat Jum’at, maka bila ia memilih untuk mengerjakan shalat
Jum’at kepadanya tidak wajib shalat Zhuhur lagi karena shalat Jum’at sudah
cukup baginya. Kemudian daripada itu disunatkan baginya tidak tergesa-gesa
mengerjakan shalat Zhuhur sampai diketahuinya bahwa pelaksanaan shalat Jum’at
telah berlalu, sekalipun bila sampai shalat Zhuhur dilaksankan sebelumnya tetap
diperbolehkan. Sedangkan kepada orang yang diharuskan melaksanakan ibadah
shalat Jum’at, maka kepadanya tidak dibenarkan shalat Zhuhur sebelum
pelaksanaan shalat Jum’at telah berlalu karena bila sampai shalat Zhuhur
dikerjakan sebelumnya, maka shalatnya dianggap tidak sah sebab yang
bersangkutan adalah orang yang diseru harus mengerjakan shlat Jum’at bukan
mengerjakan shalat Zhuhur dan dia itu tidak diseru untuk mengerjakan shalat
Zhuhur melainkan sesudah pelaksanaan shalat Jum’at telah
berlalu.
Disyaratkan pelaksanaan shalat Jum’at diikuti oleh beberapa orang yang diseru
wajib melaksanakannya. Para sahabat telah sepakat bahwa pelaksanaan shalat
Jum’at ini tidak boleh tidak harus diikuti oleh beberapa orang. Akan tetapi
tidak disyaratkan dalam jumlah tertentu; berapa pun sudah dianggap memenuhi
syarat selama jumlah itu dianggap sudah memenuhi kriteria shalat Jum’at, karena
pelaksanaan shalat Jum’ah harus dengan berjamaah, telah dikukuhkan dalam hadits
Thariq r.a. di atas, yakni :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda : (Shalat) Jum’ah adalah hak dan
kewajiban atas setiap muslim (yang dilaksanakan) dengan berjamaah . . .”.
Begitu juga karena keharusan diikuti oleh beberapa orang telah
digariskan oleh konsensus para sahabat Rasul. Adapun tentang ketentuan jumlah
jamaahnya, maka hal ini terpulang pada pengertian nash yang mu’tabar tentang
jumlah jamaah tidak bisa diterima sebagai hadits shahih. Sedangkan hadits
Abdurrahman bin Ka’ab yangmengisahkan tentang kaum muslimin yang mengerjakan
shalat di rumahnya As’ad bin Zarrah bersama Mush’ab bin ‘Umair di mana dalam
hadits tersebut di kisahkan bahwa ia bertanya : “Berapa jumlah kalian pada
waktu itu ?” Kemudian ia menjawab : “Empat puluh orang “.
Selanjutnya mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Ath Thabrani dari Ibnu
Abbas yang mengemukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah berkirim surat kepada para sahabatnya di
Madinah seraya menyuruh mereka agar berjamaah, sehingga mereka pun berjamaah
dan disepakati bahwa jumlah mereka itu sebanyak Empat puluh orang “.
Maka sesungguhnya hal ini bukan merupakan dalil bahwa jumlah
sebanyak itu merupakan syarat sah shalat Jum’at, karena hal ini merupakan
peristiwa insidentil dan peristiwa insidentil tidak bisa dijadikan argumentasi
untuk hal yang bersifat umum atau dengan kata lain, tidak bisa
digenarilisasikan, yakni peristiwa khusus tidak bisa digeneralisasikan. Maka oleh karennya, kasus tersebut bukan
merupakan dalil yang menunjukkan bahwa jumlah sebanyak itu adalah syarat sah
shalat Jum’at sekalipun disepakati bahwa jumlah jamaah saat shalat di hari
Jum’ah pada waktu itu dikuti oleh empat puluh orang, namun demikian hal itu
tidak dimaksudkan saat mengerjakan shalat Jum’at seperti yang dilaksanakan
sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah. Bahkan lebih dari itu ternyata
shalat Jum’at belum disyari’atkan, karena shalat Jum’at baru diundangkan sesudah
beliau hijrah ke Madinah. Atas dasar ini, maka maksud dari hadits itu tidak
bisa diterima sebagai ketentuan tentang jumlah minimal jamaah shalat Jum’at.
Sekalipun memang shalat Jum’at harus diselenggarakan dengan berjamaah,
namun hal itu sudah dianggap cukup bila diikuti oleh tiga jamaah atau lebih.
Sedangkan apabila hanya dilakukan oleh dua orang saja, maka hal ini dianggap
tidak sah karena dua orang tidak dikatagorikan sebagai jamaah, sehingga oleh
karennya tidak boleh tidak harus diikuti oleh tiga orang yang diseru harus
menjalankan shalat Jum’at agar shalat tersebut manjadi sah adanya. Apabila
kurang dari tiga, maka shalat Jum’at pun tidak sah dan tidak bisa dikatakan
shalat Jum’at kerana tidak mencapai jumlah bilangan minimal yang ditentukan.
Telah menjadi konsensus bahwa shalat Jum’at harus diikuti oleh sejumlah orang.
Shalat Jum’at bisa dilaksanakan di kota, di kampung, di masjid, di gedung, dan
lapangan terbuka yang masih menginduk ke gedung tersebut. Hal ini berdasarkan
pada sunah, yakni bahwa sesungguhnya Rasulullah s.a.w. shalat Jum’at di
Madinah.
Kemudian berdasrkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan :
“Jum’at pertama kali yang aku ikuti sesudah (shalat Jum’at diundangkan)
adalah shalat Jum’at yang dilaksanakan di Masjid Rasulullah s.a.w. (Masjid
Nabawi) dan di Masjid Abdu Qais di Juwai,) di Bahrain”.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan :
“Bahwasanya ia pernah berkirim surat kepada Umar menyakan tentang shalat Jum’at
di Bahrain di mana (saat itu) ia adalah sebagai Wali di sana. Maka Umar
membalasknya : Berhimpunlah kalian di mana kalian terada”.
Sedangkan tentang hadits Nabi s.a.w. yang meriwayatkan :
“Bahwasanya Nabi s.a.w. telah bersabda : Tidak sah shalat Jum’at
( ?) kecuali di masjid jami”,
maka sesungguhnya hadits ini bukan hadits shahih. Imam Ahmad berpendapat
: Ini bukan hadits. Adapun bila dilaksanakan di termpat terbuka, maka sejauh
ini tidak didapatkan nash yang mensyaratkannya, sedang shalat Jum’at itu adalah
sama dengan shalat-shalat yang lain, yakni menghendaki agar dilaksanakan sesuai
dengan syarat-syaratnya. Maka bila dalam shalat Jum’at tersebut ada syarat
khusus di luar syarat yang berlaku bagi umum yang menuntut harus
dilaksanakannya, maka tidak boleh tidak syarat itu harus ada nash yang
mengemukakannya.
Shalat Jum’at boleh dilaksanakan di satu kampung secara berulang-ulang,
sehingga oleh karenanya bila suatu kampung adalah merupakan kampung yang luas
di sana didirikan beberapa masjid tanpa harus mempertimbangkan ; apakah kampung
tersebut membutuhkannya atau tidak. Hal ini dengan alasan, karena tidak
ditemukan nash, baik yang menyangkut tentang tidak adanya shalat Jum’at
dilaksanakan secara berulang-ulang, atau suatu kampung membutuhkan beberapa
masjid maupun tidak membutuhkannya. Dengan demikian, maka sifat mutlak yang ada
pada nash tentang shalat Jum’at tetap pada kemutlakannya. Adapun tentang Nabi
s.a.w. yang ternyata tidak pernah mengerjakan shalat Jum’at kecuali di satu
masjid, maka ini bukan merupakan dilil tidak boleh melaksanakannya di masjid
lain karena ketiadaan Rasulullah s.a.w. melakukan sesuatu bukan merupakan dalil
tidak boleh melakukannya. Hal ini hanya dikarenakan kebetulan masjid beliau itu
cuma satu sehingga beliau pun hanya shalat Jum’at disana saja. Oleh karena itu
keadaan ini bukan merupakan dalil bahwa beliau tidak bermaksud shalat di masjid
lain.
Shalat Jum’at baru dikatakan sah bilamana dilaksanakan sesudah waktu Zhuhur
tiba, karena shalat Jum’at adalah fardu yang harus dikerjakan dalam satu
waktu sebagaimana dikemukakan dalam hadits Jabir r.a. :
“Maka beliau( Nabi s.a.w.) shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir”.
Dalam hadits Salmah bin Al Akhwa’ , dia
berkata :
“Kami melaksanakan shalat Jum’at
bersama Rasulullah s.a.w. bilamana matahari telah tergelincir”.
Shalat
Jum’at tidak sah bila tanpa diawali oleh dua khutbah berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah
s.a.w. pada hari Jum’at (saat melaksanakan ibadah Jum’at) berkhutbah dengan dua
khutbah dan membuat pemisah di antara keduanya dengan duduk (sebentar)”.
Syarat-syarat
khutbah dua, yaitu berdiri bagi yang kuasa dan memisahkan di antara keduanya
dengan duduk sebentar, sebagaimana dikemkukakan dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Jabir bin Samrah :
“Rasulullah
s.a.w. berkhutbah sambil berdiri kemudian beliau duduk lalu berdiri ( lagi )
dan membaca beberapa ayat (Al Qur’an) serta menyebut Allah Ta’ala (berdzikir)”.
Kedua
khutbah tersebut harus terdiri dari bacaan Al Qur’an, dzikir, pujian dan
sanjungan kepada Allah,wasiat ketaqwaan atau nasihat, dan bahasan tentang aspek
atau keberadaan kaum muslimin, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang
diiriwayatkan oleh Jabir bin Samrah di atas dan sebagaimana dikemukakan dalam
hadits lain yang masih diriwayatkan oleh Jabir, yakni :
“Sesungguhnya Nabi s.aw. berkhutbah pada
hari Jum’at. Maka beliau memanjatkan puji syukur kepada Allah Ta’ala dan menyanjung-Nya,
kemudian sesudah itu beliau dengan meninggikan nada suaranya dan dengan
menampakkan diri bagai orang marah besar sehingga pipinya pun memerah
seolah-olah beliau seorang komandan prajurit yang sedang memberi aba-aba
pasukannya seraya bersabda : Aku ini diutus sedang (saat tiba) hari kiamat
seperti kedua ini, beliau memberi isyarat dengan jari tengah dan jari
sesudahnya (jari manis). Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya percakapan yang
paling afdol adalah Kitab Allah (Al Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk yang disampaikan oleh Muhammad serta seburuk-buruk urusan
adalah urusan yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat. Barangsiapa
meninggalkan harta, maka harta itu bagi ahli warisnya dan barangsiapa
meninnggalkan utang atau keluarga, maka datanglah kepadaku”.
Selanjutnya dalam hadits yang diriwayatkan
dari Ummu Hisyam binti Haritsah bin Nu’man r.a.) dia berkata :
“Tidaklah
aku ini mengambil ( (
) ) melainkan dari lisan Rasulullah s.a.w. yang beliau bacanya setiap Jum’at di
atas mimbar”.
Disunatkan
khutbah Jum’at dilaksanakan di atas mimbar, karena Nabi s.a.w. juga
melakukannya di atas mimbar dan khatib duduk di atas tangga sebelum tempat
istirahat, karena Nabi s.a.w. duduk padanya. Selanjutnya bagi khatib disunatkan
bertumpu pada panah atau tongkat.
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim bin Huzn r.a. dia berkata :
“Aku
diutus menghadap Nabi s.a.w. Maka (ketika itu) kami menyaksikan bersamanya
Jum’at, di mana beliau bertumpu pada panah atau tongkat dan beliau memuji Allah
serta menyanjung-Nya dengan beberapa kalimat ringan yang baik-baik, dan penuh
berkat “.
Disunatkan pula bagi khatib meninggikan
suaranya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Jabir di atas, yakni :
“. . . kemudian sesudah itu beliau dengan
meninggikan suaranya dan dengan menampakkan diri bagai orang marah besar”.
Di sunatkan lagi bagi khatib berkhutbah
dengan singkat, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari
Utsman r.a. :
“Bahwasanya
dia berkhutbah dengan singkat, maka dikemukakan (saran) kepadanya : (Akan lebih
baik) sekiranya engkau (berkhutbah) lebih panjang. Kemudian dia berkata: Aku
mendengar Nabi s.a.w. bersabda : Khutbah seseorang dengan singkat adalah
terpuji dan sebagai dalil akan kedalaman ilmu agamanya.Maka lamakanlah shalat
dan persingkatlah khutbah oleh kalian”.
Shalat
Jum’at sama halnya dengan shalat Zhuhur hanya saja shalat Zhuhur empat rakaat
sedang shalat Jum’at dua rakaat, sebagaimana ditegaskan dalam hadits yang
diriwayatkan dari Umar r.a. di mana ia berkata :
“Shalat
‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, dan shalat Jum’at dua
rakaat dengan utuh tanpa di qashar berdasarkan sabda Nabi kalian s.a.w. Dan
merugilah orang yang mengada-ada “.
Disunatakan
pada rakaat pertama sesudah membaca Al Fatihah membaca surah Al Jumu’ah dan
pada rakaat kedua membaca surah Al Munafiqun, sebagaimana dikemukakan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abu Rafi’ yang mengatakan :
“Marwan telah mengangkat Abu Hurairah untuk
Madinah. Maka dia mengimami orang-orang dalam shalat Jum’at, lalu dia membaca
surah Al Jumu’ah dan surah Al Munafiqun. Kemudian aku bertanya : Wahai Abu
Hurairah, engkau telah membaca dua surah dan aku juga telah mendengar Ali r.a.
membaca kedua surah tersebut. Dia pun lalu berkata : Aku telah mendengar
kekasihku, Abu Al Qasim, s.a.w. membaca kedua surah tersebut”.
Barangsiapa masuk ke masjid dan ia
mendapatkan imam sedang shalat Jum’at, maka hendaklah ia langsung takbiratul
ihram untuk berjamaah. Bilamana imam saat itu ruku’ untuk rakaat kedua,
maka ia dianggap masih mendapatkan shalat Jum’at. Selanjutnya ketika imam
membaca salam, hendaklah ia berdiri untuk menyempurnakannya. Sedang bilamana ia
tidak lagi mendapatkan ruku’ (tidak lagi menyertai ruku’) imam, berarti ia tidak
lagi mendapatkan shalat Jum’at, sehingga ketika imama membaca salam kepadanya
diharuskan berdiri untuk melanjutkan shalatnya seperti halnya shalat Zhuhur.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah dikemukakan :
“Rasulullah
s.a.w. telah bersabda : Barangsiapa masih mendapatkan ruku’ dari rakaat
terakhir pada hari Jum’at, maka tambahkanlah rakaat lain padanya. Dan barangsiapa tidak lagi mendapatkan
ruku’, maka hendaklah ia menyempurnakannya dengan shalat Zhuhur empat (rakaat
)”.
Bilamana
seseorang tidak dapat sujud di atas lantai dikarenakan sangat berdesak-desakan,
maka sujudlah pada punggung orang bila hal ini memungkinkan, sebagaimana
dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar r.a. yang mengatakan :
Apabila sangat berdesak-desakan, maka
sujudlah seseorang di antara kalian pada punggung saudaranya”.
15. Shalat Hari Raya :
Shalat hari raya, yakni shalat ‘Idul Fitri dan shalat ‘Idul Adha, adalah sunat
karena kedua shalat tersebut dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. :
“Sesungguhnya mereka (kaum muslimin) pernah kehujanan pada saat hari raya.
Namun demikian Rasulullah s.a.w. tetap mengimami mereka shalat ‘Id di masjid
(Nabawi)”.
Akan tetapi sekalipun demikian tidak ditemukan petunjuk, bahwa shalat
‘Id hukumnya wajib. Waktu melaksanakan shalat ‘Id ini adalah pada waktu di
antara matahari terbit sampai tergelincir dan dikerjakan tanpa di awali adzan
dan iqamah, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir
bin Samrah r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah s.a.w., Abu Bakar, dan Umar, mereka melaksanakan shalat ‘Idul
Fitri dan ‘Idul Adha sebelum khutbah”.
Apabila masjid kampung (masjid jami ) terlalu sempit untuk menyelenggarakan
shalat hari raya, maka disunatkan terselenggara di lapangan terbuka,
sebagaimana diriwayatkan dalam salah satu hadits :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah keluar menuju mushalla (lapangan terbuka,
untuk melaksanakan shalat ‘Id )”.
Shalat ‘Id dilaksanakan hanya dengan dua rakaat, sebagaimana dikemukakan
dalam hadits Umar r.a. di atas :
“Shalat ‘Idul Adha dua rakaat, shalat ‘Idul Fitri dua rakaat, . . . .”. (
Al Hadits)
Pada rakaat pertama dari shalat ‘Id disunatkan bertakbir tujuh kali di luar
takbiratul ihram dan takbir ruku’ dan pada rakaat kedua bertakbir lima kali di
luar takbir untuk berdiri dan ruku’ serta harus dibaca sebelum membaca surah Al
Fatihah.
Diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. bertakbir pada waktu (shalat ) ‘Idul Fitri
dalam rakaat pertama sebanyak tujuh kali dan dalam rakaat kedua sebanyak lima
kali di luar takbir shalat “.
Dalam hadits yang masih diriwayatkan dari
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya , dia berkata :
“Nabi s.a.w. telah bersabda : Takbir pada (shalat ) ‘Idul Fitri adalah tujuh
kali untuk rakaat pertama dan lima kali untuk rakaat yang akhir serta membaca
(surah Al Fatihah ) sesudahnya untuk kedua-duanya”.
Diriwayatkan lagi dari Umar bin ‘Auf Al Mazni r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bertakbir dalam dua ‘Id pada rakaat pertama
sebanyak tujuh kali sebelum membaca (surah Al Fatihah ) dan pada rakaat kedua
sebanyak lima kali sebelum membaca (surah Al Fatihah )”.
Seusai shalat ‘Id disunatkan berkhutbah berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. , kemudian Abu Bakar, Umar dan Utsman r.a.,
mereka telah shalat dua rakaat ‘id sebelum khutbah”.
Disunatkan khutbah ini dilaksanakan di atas mimbar, sebagaimana
diriwayatkan dari Jabir r.a. yang mengatakan :
“Aku menyaksikan bersama Nabi s.aw. ‘Idul Adha. Maka ketika beliau usai
berkhutbah, turunlah beliau dari mimbarnya”.
Diriwayatkan lagi dari Abu Sa’id r.a. dia berkata :
“Nabi s.a.w. telah keluar pada hari ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha ke mushalla
(lapangan). Mula pertama yang beliau lakukan adalah shalat kemudian beliau
beranjak lalu berdiri menghadap orang-orang sedang mereka duduk pada barisannya
dan beliau menyampaikan nasihat, pesan, dan perintah kepada mereka. Apabila
beliau bermaksud hendak memutuskan suatu uraian atau hendak memerintah dengan
sesuatu, maka beliau pun memerintahkan dengannya, kemudian sesudah itu beliau
berlalu”.
16.
Shalat Jenazah :
Hukum memandikan mayat adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.
berkenaan dengan seorang yang terjatuh dari untanya :
“Mandikanlah
dia oleh kalian dengan air dan daun kayu gaharu”.
Adapun orang yang syahid dunia akhirat, yaitu orang yang gugur fi
sabilillah, maka dia tidak boleh dimandikan berdasarkan sebuah riwayat yang
mengmukakan :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda berkenaan dengan para syuhada
perang Uhud : Janganlah kalian memandikan mereka, karena setiap luka atau
setiap darah (yang menetesnya) pada hari kiamat akan semerbak mewangi (
bagaikan) minyak wangi kasturi”.
Begitu juga mereka itu tidak boleh dishalatkan.
Hukum mengkafani mayit adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Nabi s.a.w.
berkenaan dengan seorang yang sedang berihram yang tersungkur jatuh dari
untanya lalu wafat :
“Kafanilah
dia oleh kalian dengan kedua bajunya yang dia pakai saat wafat”.
Sedikitnya mengkafani mayat adalah menutupi aurat seperti orang
hidup dan sunatnya dengan tiga lapis kain, yakni : Satu lapis kain sarung dan
dua lapis kain putih yang menutupi seluruh badannya, sebagaimana diriwayatkan
oleh Aisyah r.a. :
“Rasulullah s.a.w. dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang terbuat
dari kapas di dalamnya tidak ada baju dan tidak pula ada serban”.
Disunatkan
kain kafan itu yang baik berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :Apabila seseorang di antara kalian
mengkafani saudaranya, maka hendaklah dia mengkafaninya dengan yang bagus”.
Adapun mengkafani mayat perempuan, maka sunatnya dengan lima lapis
kain, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud
dengan bersanad dari Laila binti Qanif Ats Tsaqafiah Ash Shahabiah r.a. yang
mengatakan :
“Aku adalah termasuk orang yang memandikan puteri Rasulullah s.a.w. Maka
yang pertama-tama diberikan kepada kami oleh Rasulullah s.a.w. adalah kain
basahan, kemudian baju, kemudian tutup kepala, kemudian kerudung, kemudian
sesudah itu dikafani dengan kain lain (yang menutupi seluruh badannya). Dia berkata : Saat itu Rasulullah s.a.w.
duduk di tengah-tengah pintu dengan membawa kain kafannya dan memberikannya
kepada kami satu helai -satu helai”.
Seusai mayat dimandikan dan dikafani ia wajib dishalatkan kecuali bila
mayat itu wafat syahid, maka ia tidak boleh dishalatkan berdasarkan hadits
tentang para syuhada Uhud seperti yang telah diutarakan di atas. Hukum
menyolatkan mayat adalah fardu kifayah :
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“Shalatlah kalian atas sahabat kalian”.
Sudah dianggap cukup ketika seseorang telah menyolatkannya dan
diperbolehkan menyolatkannya di sepanjang waktu sebagaimana diperbolehkannya di
masjid dan di luar masjid berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.
:
“Sesungguhnya
Nabi s.a.w. telah menyolatkan Suhail bin Baidha’ di Masjid”.
Syarat sah menyolatkan mayat adalah : Suci, menutup aurat, berdiri,
dan menghadap kiblat karena menyolatkan mayat (shalat janazah) tak ubahnya sama
dengan syarat fardu, sehingga syarat-syaratnya juga harus sama dengan
syarat-syarat bagi sahnya shalat fardu. Kemudian daripada itu disunatkan bagi imam
shalat janazah berdiri di samping kepala mayat bila mayat itu laki-laki, dan
disamping perutnya bila mayat itu perempuan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits :
“Sesungguhnya Anas r.a. menyolatkan seorang mayat laki-laki, maka dia
berdiri di samping kepalanya dan (dia pun menyolatkan ) seorang mayat
perempuan, maka dia berdiri di samping perutnya. Kemudian Al ‘Ala’ bin Ziyad bertanya
kepadanya : Begitukah Rasulullah s.a.w. cara menyolatkan mayat perempuan, yakni
(berdiri) di samping perutnya dan untuk mayat laki-laki (berdiri ) di samping
kepalanya ? Dia menjawab : Ya !”.
Apabila seseorang bermaksud hendak shalat janazah, hendaklah ia niat
shalat untuknya dan ini hukumnya fardu karena shalat janazah juga sama dengan
shalat yang lain. Kemudian ia bertakbir empat kali berdasarkan hadits yang
diriwayatkan dari Jabir r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. shalat untuk Najasyi. Maka beliau takbir untuknya
sebanyak empat kali”.
Kemudian sesudah takbir yang pertama membaca Fatihahatul Kitab
berdasarkan hadits Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya ia shalat janazah, lalu ia pun membaca Fatihatul Kitab (surah
Al Fatihah ) dan ia berkata : Hendaklah kalian mengetahui, sesungguhnya itu
adalah sunnah (Rasul)”.
Selanjutnya sesudah takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi
s.a.w. sebagai salah satu fardu shalat janazah dan sesudah takbir ketiga
mendo’akan mayat dengan do’a apa saja. Sedangkan berdo’a dengan do’a yang
dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. adalah lebih afdol. Di antara do’a-do’a yang
dicontohkan oleh beliau, yaitu: Seperti do’a yang terdapat dalam hadits riwayat
Muslim dan An Nasai dari ‘Auf bin Malik yang mengatakan :
“Aku mendengar Nabi s.a.w. saat shalat janazah membaca : Ya Allah, ampunilah
dia, kasihilah dia, muliakanlah kediaman dia, mandikanlah dia dengan air,
dengan es, dengan embun, sucikanlah dia dari berbagai kesalahan seperti kain
putih yang dibersihkan dari kotoran, gantilah rumah dia dengan rumah yang lebih
bagus dari rumahnya dahulu, dan gantilah ahli keluarga dia dengan ahli keluarga
yang lebih baik dari ahli keluarganya dahulu”.
Dan terakhir dari rangkaian fardu shalat janazah ini adalah sesudah
takbir keempat membaca salam.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Umamah bin Sahl, bahwasanya seorang
laki-laki dari kalangan sahabat Nabi s.a.w. memberi tahu kepadanya :
“Sesungguhnya sunnah dalam shalat janazah, yaitu : Imam bertakbir kemudian
membaca Fatihatul Kitab sesudah takbir yang pertama dengan lirih dalam dirinya,
kemudian membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. dan berdo’a untuk mayat dengan
tulus ikhlas dalam takbir-takbir berikutnya, dan dia tidak boleh membaca apapun
daripadanya, kemudian membaca salam dengan lirih dalam dirinya”.
Apabila mayat telah dishalatkan hendaklah segera dimakamkan dan
tidak usah ditangguhkan untuk menunggu kehadiran orang yang hendak
menyolatkannya, kecuali walinya saja untuknya boleh ditangguhkan untuk menunggu
kehadirannya bila memang tidak dikhawatirkan akan membusuk. Barangsiapa di antara kaum muslimin wafat (
gugur ) dalam berperang dengan orang-orang kafir sebelum perang itu berakhir,
maka ia dianggap syahid sehingga tidak boleh dimandikan dan tidak boleh
dishalatkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :
“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah memerintahkan berkenaan dengan para
syuhada Perang Uhud agar menguburkan mereka bersama darahnya dan tidak
menyolatkan serta tidak memandikannya”.
Sedangkan apabila ia terluka saat dalam pertempuran dan wafat sesudah
perang berakhir, maka ia harus dimandikan dan dishalatkan.
17.
Sujud Sahwi :
Bilamana seseorang yang sedang shalat meninggalkan satu rakaat sari shalatnya
karena lupa, namun sebelum shalatnya berakhir dia teringat akan hal itu, maka
dia harus menghadirkannya dan diharuskan sujud sahwi. Kemudian bila ia ragu
terhadap tertinggalnya rakaat tersebut, seperti bila ia ragu; apakah dirinya
dalam shalat itu baru mengerjakan satu rakaat, atau telah dua rakaat, atau
telah tiga rakaat, atau telah empat rakaat, maka dia harus mengambil rakaat
yang paling sedikit lalu melanjutkan dengan rakaat yang telah tersisa dan sujud
sahwi. Selanjutnya bila dia telah membaca dalam shalatnya kemudian ia yakin
bahwa dirinya telah meninggalkan satu rakaat, atau dua rakaat, atau tiga
rakaat; atau bahwa dirinya telah meninggalkan ruku’, atau sujud, atau
rukun-rukun shalat yang lain selain niat dan takbiratul ihram, maka dalam kasus
ini harus diperhatikan: Bilamana ia teringat akan hal itu belum begitu lama,
maka ia harus menyambung kembali shalatnya dan sujud sahwi. Sedangkan bilamana
ia baru teringat akan hal itu sesudah waktu berselang lama, maka ia harus
mengulang kembali shalatnya, sebagaimana telah dikemukakan dalam hadits yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan:
“Rasulullah saw. telah shalat salah satu
dari shalat al-‘asyiyyi -zhuhur dan ashar--. Kemudian beliau membaca salam pada
waktu (belaiu baru mengerjakan) dua rakaat. Seseudah itu beliau menghampiri
pohon kurma yang terletak di arah kiblat masjid lalu belaiu bersandar padanya.
Dan kala itu orang-orang bergegas keluar sedang Dzul Yadain berdiri dan
berkata: Ya Rasulallah, apakah engkau (sengaja) mengqashar atau engkau lupa?
Maka nabi saw. memandang ke kanan dan ke kiri, lalu bersabda: Apa yang Dzul
Yadain katakan itu? Mereka (para sahabat) menjawab: Dia benar, bahwa engkau
tidak shalat melainkan hanya dua rakaat. Maka beliau pun shalat lagi dua rakaat
dan membaca salam, kemudian bertakbir, kemudian sujud, kemudian bertakbir, lalu
berdiri, krmudian bertakbir dan sujud, kemudian bertakbir dan berdiri.”
Abu da’id al-Khudri r.a. telah meriwayatkan
pula:
“Sesungguhnya nabi saw. bersabda: Bilamana seseorang diantara kalian ragu
dalam shalatnya, maka buanglah keraguan itu dan bersikap yakinlah. Kemudian
jika ia telah yakin dengan seyakin-yakinnya, sujudlah dua kali. Bilamana
shalatnya itu terbukti sempurna, maka rakaat tersebut merupakan tambahan
(sunnat) baginya dan begitu juga kedua sujud. Dan jika terbukti rakaat itu
kurang, maka rakaat tersebut menjadi penyempurna bagi shalatnya dan kedua
sujudnya merupakan arang yang mencoreng muka syaitan.”
Kemudian dalam hadits yang diriwayatkan
dari Ibrahim an-Nakhai dari ‘Alqamah bin Mas’ud r.a. dia berkata:
“Rasulullah
saw. telah shalat -Ibrahin berkata: Beliau dalam shalatnya itu lebih atau
kurang--, maka seusai beliau membaca salam, ditegurlah beliau; ‘Ya Rasulallah,
apakah sesuatu telah terjadi dalam shalat? Beliau bertanya,’Apakah itu?’ Mereka (para
sahabat) menjawab,’Engkau telah shalat demikian dan demikian.’ Maka beliau pun
melangkahkan kedua kakinya dan menghadap kiblat lalu beliau bersujud dua kali,
kemudian beliau membaca salam. Sesudah itu beliau pun menghadapkan mukanya ke
arah kami dan bersabda: Bahwasanya bila sesuatu terjadi dalam shalat, sudah
barang tentu aku memberitahukannya kepada kalian. Akan tetapi walaupun
demikian, sesungguhnya aku juga adalah manusia yang bisa lupa seperti halna
kalian juga yang bisa lupa. Oleh karena itu, maka bila aku lupa, maka
ingatkanlah aku oleh kalian, dan jika seseorang di antara kalian ragu dalam
shalatnya, maka upayakanlah untuk memperoleh yang benar lalu sempurnakanlah
dengannya kemudian hendaklah sujd dua kali”.
Ketentuan ini berkenaan dengan seseorang
yang shalat lalu ada bagian shalat yang tertinggal, namun kemudian teringat
akan hal itu, saat masih shalat maupun saat shalat sudah selesai dikerjakan.
Begitu juga ketentuan tersebut berkenaan dengan seseorang yang shalat lalu ia
ditimpa keraguan. Adapun bila ia dilanda perasaan ragu sesudah membaca salam;
apakh dirinya telah meninggalkan sesuatu atau tidak? Maka dalam kasus seperti
ini dia tidakdiharuskan apa-apa lagi karena pada dasarnya ia telah menunaikan
seluruh rangkaian shalat tersebut dengan sempurna, sehingga keraguan yang
timbul sesudahnya tidak berpengaruh apa-apa lagi.
Apabila
seseorang yang sedang shalat meninggalkan salah satu fardhu shalat karena lupa,
akan tetapi saat masih shalat dia teringat akan hal itu, atau dia itu ragu akan
salah satu fardhu shalat; apakah fardhu tersebut dikerjakan ataukah tidak,
sedang saat itu ia masih dalam keadaan shalat, maka bagian yang diragukan dalam
rakaat tersebut jangan ditangguhkan melainkan harus langsung dikerjakan dan
sesudah itu baru melanjutkan yang berikutnya karena tertib dalam pelaksanaan
shalat hukumnya fardhu. Sebagai contoh, umpamanya: Apabila seseorang yang
sedang shalat dalam rakaat pertama tertinggal sujudnya dan dia mengingatnya
saat sedang berdiri dalam rakaat kedua, maka seketika itu juga ia harus turun
untuk bersujud terlebih dahulu untuk menggantikan sujud yang tertinggal
dalam rakaat pertama tersebut, dan sesudah itu barulah ia melanjutkan untuk
memulai lagi rakaat yang kedua. Selanjutnya apabila ia baru teringat akan hal
itu pada saat sedang berdiri untuk rakaat ketiga, yakni baru teringat bahwa
sujud pada rakaat pertama tertinggal, maka hal itu dianggap sama dengan
meninggalkan seluruh rangkaian rekaat pertama itu sehingga oleh karenanya ia
pun harus menggantinya dengan satu rakaat secara utuh. Dalam kedua kasus di atas hendaklah
ditambah lagi dengan sujud sahwi dan seluruh rangkaian ketentuan ini berkenaan
dengan hal-hal yang bersifat fardu. Adapun bila ia lupa dalam hal-hal yang
bersifat sunat, lalu teringat akan hal itu sedang ia masih dalam shalat maka
hal tersebut tidak perlu diulang. Sebagai contoh ; bilamana sunat yang
terlupakan itu berupa sunat haiah seperti mengangkat kedua tangan saat berdiri
dari ruku’ atau membaca tasbih saat ruku’, maka tidak perlu sujud sahwi.
Sedangkan bilamana yang terlupakan itu sunat seperti duduk pada tasyahhud awwal
atau qunut dalam shalat Shubuh, maka hendaklah sujud sahwi sebagai penambal
atas sunat yang tertinggal itu.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ziyad
bin ‘Alafah dikemukakan, bahwasanya dia berkata :
“Al Mughirah bin Syu’bah shalat mengimami
kami. Kemudian dia bangkit dalam dua rakaat, maka kami pun mengucapkan : (
(
) ) dan dia pun mengucapkan: (
(
) ) serta sesudah itu dia berlanjut. Ketika dia telah menyempurnakan shalatnya
dan membaca salam, dia pun sujud sahwi dua kali. Selanjutnya ketika dia
beranjak, berkatalah : Aku telah melihat Rasulullah s.a.w. melakukan seperti
yang aku lakukan”.
Hukum
sujud sahwi ini adalah sunat berdasarkan sabda Nabi s.a.w. yang dikemukakan
oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. di atas, yakni :
“. . . ., maka rakaat tersebut merupakan
tambahan (sunat) baginya dan begitu juga kedua sujud”.
Sujud sahwi dilakukan sebelum membaca salam
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Juhinah r.a. :
“Sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. telah berdiri dalam shalat Zhuhur padahal seharusnya beliau
duduk .Maka ketika beliau telah menyelesaikan shalatnya, bersujudlah beliau dua
kali dan beliau bertakbir dalam setiap sujud serta beliau melakukannya sambil
duduk dan sebelum membaca salam, lalu orang-orang pun bersujud bersama beliau
pada duduk yang terlupakan tersebut”.
Ketentuan tentang pelaksanaan sujud sahwi
ini berdasarkan pada hadits lain juga, yaitu pada hadits yang diriwayatkan oleh
Ibrahim An Nakhai di atas. Kemudian berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan
dari Abu Sa’id Al Khudri r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah
s.a.w. telah bersabda : Apabila seseorang di antara rakaat kalian ragu dalam
shalatnya, tidak tahu berapa rakaat ia telah melakukannya ; tiga atau empat
rakaat? Maka buanglah keraguan itu dan berpeganglah pada
bilangan rakaat yang diyakininya, kemudian bersujudlah dua kali sebelum membaca
salam”.
Selanjutnya didasarkan pula pada hadits
Abdurrahman bin ‘Auf r.a. yang berbunyi :
“Dan sujudlah dua kali sebelum membaca
salam”.
Sujud sahwi juga boleh dilakukan sesudah
membaca salam berdasarkan hadits Dzul Yadain dari hadits riwayat Abu Huairah
r.a. :
“Dan (beliau) membaca salam, kemudian
bertakbir, kemudian sujud, kemudian bertakbir, lalu beliau mengangkat (kepala )
, kemudian bertakbir dan sujud, kemudian bertakbir dan mengangkat (kepala)”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Imran
bin Hashin dikemukakan :
“Maka beliau shalat satu rakaat kemudian
membaca salam, kemudian sujud dua kali, kemudian membaca slam”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud
r.a. juga dikemukakan:
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. shalat Zhuhur
lima rakaat lalu kepadanya ditanyakan: Apakah shalat (ini) ditambah ?
Maka beliau menjawab : Apakah itu ? Mereka (para sahabat) menjawab : Engkau
telah shalat dengan lima rakaat. Kemudian beliau sujud dua kali sesudah beliau
membaca salam”.
18. Sujud Tilawah :
Sujud tilawah disyari’atkan bagi qari dan pendengar berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a. yang mengatakan :
“Rasulullah s.a.w. membacakan Al Qur’an kepada kami, Maka ketika berlalu
ayat sajdah, beliau pun takbir dan sujud, lalu kami juga sujud”.
Apabila seorang qori tidak sujud, maka bagi pendengar tetap
dianjurkan sujud karena anjuran sujud dialamatkan kepada kedua belah pihak
sehingga anjuran tersebut tidak hilang dikarenakan salah satu pihak tidak
melakukannya. Ketentuan ini berlaku dengan catatan, bilamana pendengar dengan sengaja
mendengarkan bacaan Al Qur’an. Adapun bilamana yang mendengar bacaan Al Qur’an
itu bukan pendengar yang dengan sengaja mendengarkannya, seperti seorang yang
sedang berlalu di jalan lalu ia mendengar seorang qari sedang membaca Al Qur’an
di masjid, atau di rumah dengan bacaan yang nyaring sehingga tanpa disengaja
orang yang sedang berlalu di jalan pun mendengarnya, atau seseorang ada di
dekat orang yang sedang membaca Al Qur’an tetapi ia sibuk dengan kegiatan lain,
seperti menulis atau membicarakan urusan lain, maka dalam posisi seperti ini ia
tidak dianjurkan untuk sujud tilawah karena ia dianggap bukan pendengar yang
sedang mengikuti bacaan Al Qur’an yang sedang dilantunkan oleh si qari.
Ketentuan ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Utsman dan ‘Imran bin
Al Hashin r.a. :
“Sujud tilawah dianjurkan kepada pendengar”.
Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas r.a. :
“Sujud tilawah adalah bagi orang yang duduk untuk mendengarkan bacaan Al
Qur’an”.
Hukum sujud tilawah adalah sunat bukan wajib berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit r.a. yang mengatakan :
“Surah An Najm disampaikan kepada Rasulullah s.a.w. namun tidak seorang pun
di antara kami yang sujud tilawah”.
Sujud tilawah berjumlah empat belas kali, sebagaimana dikemukakan dalam
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Al ‘Ash r.a. yang mengatakan :
Rasulullah s.a.w. telah membacakan (menyebutkan) kepadaku lima belas ayat
sajdah (ayat yang menganjurkan sujud tilawah) dalam Al Qur’an, antara lain :
tiga pada ayat-ayat Al Mufashshal dan dua dalam surah Al Hajj”.
Tetapi yang termasuk ke dalam sujud tilawah dari kelima belas ayat
sajdah itu hanya empat belas saja, yakni ayat sajdah dalam surah Shad bukan
merupakan ayat yang menganjurkan untuk sujud tilawah melainkan ayat yang
menganjurkan untuk sujud syukur. Bunyi ayat tersebut, yaitu :
(
)
“. . . lalu (Daud) menyungkur sujud
dan bertaubat” ( Q. S. 88 : 74 ).
Ketetapan ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a. yang mengatakan :
“Suatu
hari Rasulullah s.a.w. berkhutbah di hadapan kami, Maka ketika beliau membaca
ayat sajdah, kami pun beranjak untuk sujud. Ketika beliau menyaksikan kami demikian,
beliau pun bersabda : Sesungguhnya itu adalah taubat seorang Nabi (Daud).
Tetapi kalian tetap siap untuk sujud sehingga beliau juga turun dan sujud”.
Kemudian diriwayatkan lagi dari Ibnu Abbas
r.a. :
“Sesungguhnya
Nabi s.a.w. telah sujud dalam surah Shad dan beliau bersabda : Daud a.s. telah
sujud berkenaan dengannya sebagai sujud taubat sedang kita sujud berkenaan
dengannya sebagai sujud syukur”.
Disunatkan saat sujud tilawah membaca
seperti apa yang telah dicontohkan oleh Nabi s.a.w. :
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah
r.a. , dia berkata :
“Rasulullah
s.a.w. dalam sujud saat membaca Al Qur’an di malam hari, beliau membaca : (
(
= Mukaku bersujud kepada Dzat yang telah menciptakannya, Dzat yang telah
membukakan pendengarannya, dan Dzat yang telah membukakan penglihatannya dengan
kekuasaan-Nya”.
Selanjutnya
saat sujud hendaklah bertakbir berdasarkan hadits shahih dari Nabi s.a.w. yang
mengemukakan, bahwa beliau bertakbir saat sujud tilawah dan saat bangkit dari
sujud tersebut. Kemudian membaca salam ketika telah usai bangkit dari sujud tilawah.
Sabda Nabi s.a.w. :
“Tahrim shalat adalah takbir dan tahlilnya
adalah membaca salam”.
Sedangkan sujud tilawah juga dianggap
shalat. Dengan demikian,maka sujud tilawah juga harus diakhiri dengan membaca
salam.
Bagi
siapa saja yang sujud tilawah, maka baginya kebaikan sebagai imbalan atas
kesediaanya melakukan pekerjaan sunat. Sedang bagi yang meninggalkannya, maka
baginya tidak ada kebaikan namun tidak berdosa. Apabila seseorang memdengar
ayat sajdah dibacakan tetapi ia dalam keadaan tidak suci, maka kepadanya tidak
lazim harus wudhu atau tayammum karena sujud tilawah adalah sujud yang
berkaitan dengan suatu sebab, sehingga bila ayat sajdah tersebut telah berlalu
baginya tidak perlu lagi sama halnya dengan seorang yang membaca ayat sajdah
dalam shalatnya, kemudian ia tidak sujud tilawah, maka ia tidak lazim harus
sujud sesudahnya. Hukum sujud tilawah sama dengan hukum shalat sunat, yaitu
harus suci, menutup aurat, dan menghadap ke kiblat karena hakikatnya sujud
tilawah itu adalah shalat juga.
Alasan,
mengapa sujud tilawah dianggap sebagai ahalat karena shalat juga adakalanya
diungkapkan dengan sujud dan begitu juga sebaliknya. Banyak hadits yang
diriwayatkan oleh para sahabat Rasul s.a.w. yang mengungkapkan shalat dengan
kata-kata sujud, di mana dalam hadits -hadits tersebut kata “rakaat”
diungkapkan dengan kata “sujud”.
Ibnu Umar r.a. telah meriwayatkan :
“Aku
shalat bersama Rasulullah s.a.w. sebelum Zhuhur dua sujud (sajdatain, maksudnya
dua rakaat ) dan susudahnya dua sujud (sajdatain), lalu sesudah shalat Maghrib
dua sujud (sajdatain ), serta sesudah shalat Isya dua sujud ( sajdatain )”.
Maksud dari kata-kata “sajdatain”
dalam hadits ini juga tidak lain adalah “rak’atain”, yakni dua rakaat.
Ini adalah sebagai dalil, bahwa shalat
terkadang dinyatakan dengan sujud. Kemudian ketika rakaat dinyatakan dengana
sujud (sajdah)- sebagaimana tidak diperselisihkan ,bahwa rakaat juga adalah
shalat, maka sujud pun dianggap sebagai shalat, sekalipun sujud adalah salah
satu dari beberapa pekerjaan yang dilakukan saat seseorang sedang shalat.
Memang terkadang kata sujud ini dimaksudkan sebagai bagian dari rangkaian
shalat seperti sujud dalam shalat yang terdiri dari beberapa rakaat dan
terkadang sebagai shalat secara utuh, yakni shalat itu sendiri, seperti sujud
syukur, sujud tilawah, dan sujud sahwi. Kemudian keadaan di antara keduanya
juga ada beberapa persamaan, yakni bahwa shalat memiliki sebab yaiitu tiba
(masuk) waktu, seperti Zhuhur, atau karena memperoleh apa yang disyari’atkan
untuk shalat, seperti shalat tahiyyatul masjid. Maka begitu juga halnya sujud
pun mempunyai sebab, yakni karena lupa ada yang tertinggal dalam shalat,
sehingga disyari’atkan sujud sahwi, atau karena memperoleh nikmat, atau karena
terhindar dari bencana, sehinga disyari’atkan sujud syukur, atau karena membaca
ayat sajdah, sehinga disyari’atkan sujud tilawah. Sehubungan dengan sujud
sahwi, sesungguhnya sujud ini -sebagaimana tidak diperselisihkan oleh para
ulama- bukan merupakan bagian dari shalat melainkan sujud tersebut merupakan
penambal bagi shalat.
Sabda Rasulullah s.a.w. :
“. .
. dan jika terbukti rakaat itu kurang, maka rakaat tersebut menjadi penyempurna
bagi shalatnya dan kedua sujudnya merupakan arang yang mencoreng muka syaitan”.
Begitu
juga, bahwa sujud sahwi pun disyaratkan suci karena sujud sahwi ini merupakan
ibadah di luar rakaat-rakaat shalat. Kemudian daripada itu, perihal ketentuan
bagi sujud tilawah juga persis sama dengan ketentuan bagi sujud sahwi dan
ketentuan ini tidak didasarkan pada qias, karena dalam ibadah (mahdhah) tidak
ada qias. Akan tetapi ketentuan ini didasarkan pada posisi atau status sujud
tilawah itu sendiri sebagai salah satu macam sujud. Dalam sujud tilawah
disyaratkan suci karena yang diperhitungkannya pun sujud itu sendiri bukan
penyebabnya. Maka dengan demikian, jelaslah bagi kita : Sesungguhnya sujud
tilawah sama dengan shalat yang mempunyai syarat seperti syarat yang
ditetapkan dalam shalat.
Adapun tentang apa yang dikemukakan oleh
Bukhari dalam kitab shahihnya (Shahih Bukhari) , yaitu tentang pernyataanya :
“BAB
SUJUD KAUM MUSLIMIN BERSAMA KAUM MUSYRIKIN DAN SEORANG MUSYRIK YANG TIDAK
MEMPUNYAI WUDHU, DAN IBNU UMAR R.A. TERBUKTI TANPA WUDHU”.
Maka hal ini tidak boleh dijadikan dalil
untuk membolehkan sujud tilawah tanpa wudhu. Sebab sesungguhnya Bukhari hanya
sekedar menyebutkan hal itu dalam sebuah “bab” sebagai judul dan dia
tidak meriwayatkannya dari seorang perawi pun. Apa yang disebutkan oleh Bukhari
dalam kitabnya sebagai judul bagi suatu bab tidak dapat dianggap sebagai hadits
yang diriwayatkannya dan tidak bisa dijadikan dalil seperti halnya nash syar’I,
melainkan hal tersebut hanya sekedar pendapat dia sendiri.
Sedangkan riwayat lain yang meriwayatkan :
“Sesungguhnya Ibnu Umar telah sujud tilawah
tanpa wudhu”.
ini adalah riwayat yang dikemukakan dari
nara sumber yang tidak bisa ditelusuri.
Dalam
sebuah riwayat Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari jalur ‘Ubaid bin Al
Hasan dan seorang laki-laki yang menduga, bahwa ia seperti dirinya dari Sa’id
bin Jubair , ia berkata :
“Ibnu Umar terbukti turun dari hewan
tunggangannya lalu menuangkan air, kemudian ia menaiki (hewan tunggangannya).
Maka dia membaca ayat sajdah dan dia tidak wudhu”.
Status tiwayat ini adalah majhul ( tidak
dapat ditelusuri nara sumbernya) dan terhadap riwayat yang majhul kita pun
dilarang menerimanya.
Sementara itu dalam riwayat Al Baihaqi
tertulis : (
(
= dia sujud (tilawah) dengan (mempunyai wudhu). yakni lafadz ( ( = tanpa)
) tidak tertulis. Dengan demikian jelaslah bagi kita, sesungguhnya riwayat yang
mengemukakan bahwa Ibnu Umar r.a. melakukan sujud tilawah tanpa wudhu tidak
bisa dikukuhkan bersumber dari pernyataan dia sendiri dan sesungguhnya riwayat
yang mengemukakan bahwa Ibnu Umar r.a. terbukti melakukan sujud tilawah tanpa
wudhu ini berlawanan pernyataannya dia sendiri yang menegaskan wajib wudhu
untuk sujud tilawah, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan
sanad shahih yang diterima dari Al Laits dari Nafi’ dari Ibnu Umar yang
mengatakan :
“Seseorang tidak sah sujud (tilawahnya )
kecuali dia itu suci (berwudhu)”.
Dan
Ibnu Umar sendiri menganggap sujud tilawah adalah shalat, sehingga dia
menyatakan makruh melakukan sujud tilawah dalam waktu-waktu dimakruhkan
mengerjakan shalat.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. :
“Sesungguhnya dia (Ibnu Umar) ditanya
tentang orang yang membaca Al Qur’an sesudah shalat Fajar dan sesudah shalat
Ashar : Apakah ia boleh sujud (tilawah)? Dia menjawab : Tidak boleh”.
Ini
adalah ketetapan berdasarkan aspek periwayatan, sedangkan bila ketetapan ini
berdasarkan aspek pengambilan dalilnya maka sesungguhnya perbuatan Ibnu Umar
bukan merupakan dalil syar’i , sehingga pernyataan dia itu tidak bisa dianggap
sebagai dalil syar’i melainkan sebagai hukum syar’i dari atau bagi seorang
mujtahid.Hal ini dengan alasan, sebab madzhab(pendapat) seorang sahabat adalah
bukan merupakan dalil syar’i.
Sedangkan
tentang hadits yang diriwayatkan oleh Bukahari yang mengatakan : Musaddad telah
meriwayatkan kepada kami, katanya : Abdul Warits telah meriwayatkan kepada
kami, katanya : Ayyub telah meriwayatkan kepada kami dari ‘Ikrimah, dari
Ibnu Abbas r.a. :
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. bersujud
(tilawah) ketika membaca surah An Najm dan kaum muslimin kaum musyrikin, jin,
dan manusia juga sujud bersamanya”.
Hadits ini secara dirayah tertolak walaupun
diriwayatkan oleh Bukhari. Adapun alasan, mengapa secara dirayah hadits
tersebut tertolak, ini berdasarkan dua segi :
Pertama
:
Karena hadits tersebut berlawanan dengan nash Al Qur’an yang bersifat qath’i,
dimana Al Qur’an memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya orang-orang
musyrik sangat keberatan untuk menerima agama yang disampaikan oleh Rasulullah
s.a.w. kepada mereka.
Firman Allah Ta’ala :
“Amat berat bagi orang-orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya”. ( Q.S. 42 : 13 ).
Sedangkan hadits di atas menyatakan :
Sesungguhnya mereka ketika mendengan Al Qur’an (dibacakan) sujud. Sujud yang
dilakukan oleh mereka sungguh berlawanan dengan sikap mereka sendiri yang
sangat keberatan menerima agama yang diserukan oleh Rasulullah s.a.w. kepada
mereka. Kemudian di lain ayat Allah s.w.t memberitahukan kepada kita bahwa
sesungguhnya orang-orang musyrik apabila dibacakan Al Qur’an kepada mereka ,
maka mereka tidak mau sujud.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada
mereka , maka mereka tidak bersujud”. ( Q. S. 84 :21.)
Akan tetapi dalam hadits di atas
dikemukakan : Sesungguhnya mereka bersujud ketika Al Qur’an dibacakan kepada
mereka. Selanjutnya Al Qur’an memberitahukan lagi kepada kita bahwa
sesungguhnya orang-orang musyrik berpaling dari sujud kepada Allah Ta’ala.
Firman
Allah Ta’ala :
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka : Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang,
mereka menjawab : Siapakah Yang Maha Penyayang itu ? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan yang
kamu perintahkan kami (bersujud kepada Nya )? Dan (perintah sujud itu )
menambah mereka jauh ( dari iman)” ( Q. S. 25 : 60 ).
Sedangkan hadits di atas menyatakan :
Ketika kepada mereka dibacakan Al Qur’an, mereka pun bersujud. Ini jelas
berlawanan satu sama lain, sehingga secara dirayah hadits tersebut harus
ditolak.
Kedua : Sesungguhnya Abdullah bin Abbas r.a. yang disebut sebagai
perawi hadits di atas, pada waktu kisah hadits ini dihubungkan kepada
Rasulullah s.a.w. yang terjadi sebelum hijrah kedua ke Habsyi- di awal
kerasulan, periode Mekkah- terbukti saat itu dia masih kecil. Sekali pun
dapat
dipastikan dia saat itu telah lahir dan dapat dipastikan dia memperoleh kisah
di atas, tetapi dapat pula ditegaskan : Sesungguhnya Ibnu Abbas r.a. sama
sekali tidak menyaksikan kisah di atas, sebagaimana dikatakan oleh para
pensyarah hadits itu sendiri. Atas dasar itu, maka hadits ini dianggap
berlawanan dengan realita kisahnya sekalipun Ibnu Abbas dapat dipastikan
memperolehnya. Di sini tidak boleh dikatakan : Sesungguhnya Ibnu Abbas
r.a. meriwayatkan kisah ini dari Rasulullah s.a.w. secara langsung karena
beliau menyampaikan kisah itu kepadanya secara langsung atau dengan
perantaraan. Hal ini tidak boleh dikatakan demikian, sebab Ibnu Abbas r.a.
tidak meriwayatkan dengan ungkapan : (
(
= Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda ) ), melainkan dia itu
meriwayatkan hadits seperti yang langsung menyaksikan jalannya peristiwa
sehingga dia berkata (
(
= Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersujud (tilawah) dan sujud pula
bersamanya kaum muslimin, serta orang-orang musyrikin) ).
Atas dasar ini , maka, hadits tersebut tidak boleh dijadikan dalil.
Dengan demikian, diperbolehkannya sujud tilawah tanpa wudhu tidak bida
diterima (tertolak) dan keharusan dalam keadaan suci (berwudhu) ketika sujud
tilawah -karena sujud tilawah sama dengan shalat-dikukuhkan ketetapannya.
19.
Sujud Syukur
Disunatkan
bagi orang yang memperoleh nikmat atau terhindar dari bencana bersujud sebagai
rasa syukur kepada Allah SWT. berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu
Bakrah:
“Sesungguhnya Nabi saw. bilamana datang urusan yang menyenangkannya atau
beliau diberi kabar gembira dengannya, maka beliau menyungkur sambil sujud
sebagai rasa syukur kepada Allah SWT”.
Dalam hadits
yang dikemukakan oleh Ahmad, hadits senada diungkapkan dengan kata-kata:
“Sesungguhnya dia (Abu Bakrah) menyaksikan Nabi saw. didatangi oleh
seseorang pembawa kabar gembira yang menggambarkan bahwa pasukannya mendapat kemenangan
atas musuh mereka. Sedangkan (saat itu) kepada beliau ada dalam pangkuan
Aisyah, maka bangkitlah beliau lalu menyungkur sujud, dan beliau berlama-lama
dalam sujudnya. Baru kemudian mengangkat kepalanya dan beranjak menuju kamarnya
lalu beliau masuk dan menghadap kiblat”.
Hukum sujud syukur dalam syarat dan tata caranya sama dengan hukum sujud
tilawah, dilakukan di luar shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar