Selasa, 27 Januari 2015

Kisah Peruqyah Menyelamatkan Malam Pertama

Kisah Peruqyah Menyelamatkan Malam Pertama

www.familyrumaday.blogspot.com
Pemuda itu bingung. Semestinya ia berbahagia di malam pertamanya ini. Tetapi, muslimah yang baru dinikahinya itu berteriak-teriak ketika hendak disentuhnya. Tatapan matanya nanar, dan ia mengucapkan kata-kata aneh.
Mengetahui hal ini, seisi rumah juga bingung. Mereka menyimpulkan, pengantin baru tersebut kesurupan. Dicoba dibacakan ayat kursi dan doa-doa, tak ada pengaruhnya. Mereka pun kemudian membawanya ke salah seorang ustadzah ahli ruqyah.
Biasanya, di pertengahan ruqyah sudah ada reaksi. Bahkan pada beberapa kasus, baru dibaca ta’awudz saja jin yang mengganggu mulai berteriak kepanasan. Tetapi muslimah ini tidak bereaksi. Hingga ruqyah selesai, tak ada tanda-tanda jin keluar.
Ahli ruqyah tersebut baru sadar, ternyata pengantin baru ini hanya berpura-pura. Maka dengan bijak dan lembut, ia bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dan akhirnya ia mengaku juga.
“Sebenarnya…” kata wanita tersebut sambil meneteskan air mata, “aku memang pura-pura kesurupan. Aku takut…”
“Mengapa engkau takut? Bukankah malam ini adalah malam kebahagiaanmu?”
“Dulu pernah terjadi pendarahan padaku. Aku pikir itu adalah selaputku yang sobek. Aku takut jika malam ini aku tidak berdarah, suamiku akan marah…”
Ahli ruqyah tersebut memahami perasaan sang mempelai wanita. Dan ia tak mau gara-gara sesuatu yang bukan kesalahannya, ia kehilangan rumah tangga yang baru diikrarkan suaminya.
“Tenanglah Nak, insya Allah ada jalan terbaik.”
Ia pun kemudian mengumpulkan keluarga yang mengantarnya, sementara sang mempelai wanita hanya mendengarkan dari ruang ruqyah.
“Bapak, ibu dan khususnya pengantin pria. Dengan izin Allah insya Allah saya akan membantu menyelesaikan kasus ananda ini. Tapi saya minta pertimbangan kalian. Tolong kalian pilih, seandainya jin hanya mau keluar dari tiga jalan. Pertama, jika jin keluar dari matanya, resikonya adalah matanya jadi buta. Jika jin keluar dari telinganya, maka telinganya jadi tuli. Dan jika keluar dari kewanitaannya, maka selaputnya akan robek. Kalian pilih mana?”
“Separah itukah?” tanya ayah mertua.
“Memang beberapa jin sangat ganas, Pak” jawab ahli ruqyah tersebut.
“Baiklah,” kata ayah mertua setelah bermusyawarah sebentar, “keluarkan saja dari kewanitaannya. Toh itu akan sobek juga.”
Dari balik ruang ruqyah, muslimah tersebut tersenyum bahagia. Ia bersyukur pada Allah kemudian berterima kasih kepada ahli ruqyah tersebut. [Muchlisin BK/bersamadakwah]
*Diadaptasi dari kisah yang ditulis Syaikh Abdul Muthalib Hamd Utsman
www.familyrumaday.blogspot.com

Bolehkah Wanita Bertemu Mantan Suami? Bagaimana Ketentuannya?

Bolehkah Wanita Bertemu Mantan Suami? Bagaimana Ketentuannya?

www.familyrumaday.blogspot.com
ilustrasi cerai © forumdakwahahlussunnahdotcom
Assalamu’alaikum. Wahai Syaikh, bolehkan seorang wanita bertemu dengan mantan suaminya? Jika boleh, apa saja ketentuannya? Terima kasih.

Jawaban:

Wa’alaikum salam warahmatullah.
Ketika seorang wanita telah ditalak oleh suaminya dan masa iddahnya telah habis, maka laki-laki tersebut telah menjadi orang lain baginya. Sama seperti terhadap laki-laki non mahram lainnya, mereka tidak boleh berkhalwat atau berduaan karena hal tersebut diharamkan.
Meskipun khalwat dilarang, mereka boleh bertemu dengan mantan suaminya sebagaimana bertemu laki-laki lain, dengan syarat menutup aurat, tidak tabarruj, tidak memakai parfum, tidak bersentuhan, disertai mahram atau di tempat umum (ada orang lain yang menemani), serta tidak melanggar batas syar’i dan adab-adabnya.
Adapun jika masih berada pada masa iddah dalam talak satu atau talak dua, mereka harus tetap bertemu dan berada dalam satu rumah. Bisa jadi talak itu terjadi karena kurang pertimbangan sehingga suatu saat dalam masa iddah keduanya ingin ruju’, maka akan mudah dan hal itu menjadi lebih baik. Dan inilah salah satu hikmah adanya masa iddah dalam Islam. Bisa jadi selama masa itu hati suami istri menjadi jernih, cinta mereka tumbuh kembali, dan hubungan mereka menjadi lebih baik dan lebih kokoh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengenai ketentuan ini:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS: Ath-Thalaaq Ayat: 1)
Sesuai ayat ini, dalam masa iddah tersebut, suami tidak boleh mengusir istrinya dari rumah dan istri juga tidak boleh meninggalkan rumah (semisal pulang ke rumah orang tuanya).
Wallahu a’lam bish shawab. [Disarikan dari fatwa Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi]

www.familyrumaday.blogspot.com

Senin, 12 Januari 2015

JIKA SEORANG ISTRI TELAH MENUNAIKAN :

Assalaamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Selamat Malam Sahabat Fillah

JIKA SEORANG ISTRI TELAH MENUNAIKAN :

1. SHOLAT 5 WAKTU
2. PUASA BULAN RAMADHAN
3. MENJAGA KEMALUANNYA DARI YANG HARAM
4. KEMUDIAN DIA MENAATI SUAMI DARI SEMUA NASEHAT DAN PERINTAH SUAMINYA MAKA . . . :

ALLAH SWT MEMPERSILAHKAN SANG ISTRI TERSEBUT MASUK KE DALAM SYURGA DARI PINTU MANAPUN YANG IA SUKAI
( HR. AHMAD )

SUBHANALLAH BETAPA BERUNTUNGNYA MENJADI SEORANG ISTRI, TINGGAL MELAKSANAKAN KE EMPAT HAL DI ATAS SAJA SUDAH BEBAS MEMILIH PINTU SYURGA

NAMUN PERLU DI INGAT BAHWASANNYA SEORANG SUAMI ADALAH SEBAGAI JAWABAN ATAS SEMUANYA, APAKAH SANG ISTRI TADI KE SYURGA ATAUKAH KE NERAKA? JAWABANNYA ADA PADA SEORANG SUAMI, MAKA TAATILAH SUAMI KALIAN WAHAI UKHTY SEHINGGA SYURGA MENJADI WARISAN TERINDAH SEBAGAI HADIAH BUAT KALIAN, DAN JIKA SUDAH DEMIKIAN MAKA SANG SUAMIPUN AKAN MENDAPAT MAHKOTA KEBERHASILAN DALAM MENDIDIK SANG ISTRI,,,

SEMOGA KITA SEMUA DAPAT MEMAHAMI HADITS DIATAS SEBAGAI RENUNGAN BUAT KITA SEMUA,

SALAM UKHUWA ISLAMIYYAH

www.familyrumaday.blogspot.com

Istri Terlalu Berani Sama Suami Akan Dilaknat Allah

Istri Nusyuz dan Bertindak Keji

Soal:
Apa batasan nusyuz? Bagaimana ciri-cirinya? Apa tindakan yang harus dilakukan suami saat istrinya melakukan nusyuz?
Jawab:

Allah SWT telah mengharamkan nusyuz yang dilakukan oleh istri, termasuk perbuatan keji yang lain, dengan keharaman yang tegas. Allah SWT juga telah mengancam tindakan tersebut dengan neraka Jahannam, serta siksa yang pedih di akhirat. Allah SWT berfirman:

وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا

(Terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberikan jalan yang lain kepada mereka (QS an-Nisa’ [4]: 15).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewariskan kepada wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata (QS an-Nisa’ [4]: 19).

Konotasi kata fakhisyah (keji) dalam nas yang pertama adalah zina; sedangkan yang kedua adalah durkaha kepada suami, bermulut culas dan berani kepada suami. Fakhisyah Mubayyinah (perbuatan keji yang nyata) adalah kemaksiatan yang nyata, yang menurut Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, ad-Dhahak dan Qatadah, adalah al-bughdhu wa an-nusyuz. Nusyuz merupakan bentuk maksiat istri kepada suaminya.

Dalam nasyrah Soal-Jawab Hizbut Tahrir (2 Muharram 1392 H/17 Februari 1972 M) dinyatakan, bahwa nusyuz adalah maksiat istri kepada suaminya dalam konteks kehidupan khusus (di rumah) dan hubungan suami-istri. Contoh: jika suami memerintahkan istrinya menyiapkan makanan, menutup aurat di depan pria lain; memerintahkan shalat, puasa, memakai pakaian tertentu di rumah, tidak membuka jendela, tidak menjawab orang yang mengetuk pintu, tidak duduk di teras, atau mencucikan baju suaminya, tidak keluar rumah, dan sebagainya yang terkait dengan kehidupan khusus atau kehidupan suami-istri, maka dia wajib menaati suaminya. Jika dia maksiat kepada suaminya dan tidak menaati suaminya, maka dia telah melakukan tindakan nusyuz, dan kepada dirinya berlaku hukum nusyuz.

Di luar itu tidak termasuk dalam kategori nusyuz. Misalnya, perintah suami mengikut aksi, menghadiri seminar, mengenakan jilbab di luar rumah, larangan berbisnis, larangan pergi haji atau umrah, maka istri bisa menaati perintah/larangan suaminya, bisa juga tidak. Jika tidak menaati suaminya, maka tindakan istri dalam konteks kehidupan umum, dan bukan kehidupan suami-istri ini tidak termasuk dalam ketori nusyuz. Inilah batasan nusyuz istri kepada suaminya.

Jadi, nusyuz memang bentuk kemaksiatan istri kepada suami. Indikasinya bisa berupa tindakan, bisa juga dalam bentuk perkataan. Jika seorang istri meninggikan suaranya kepada suami, tidak menjawab ketika dipanggil, tidak segera melaksanakan perintahnya ketika diperintah, tidak patuh ketika dipanggil, tidak memenuhi keinginannya ketika diajak, serta menggunakan kata-kata kasar, culas dan berani kepada suaminya; maka ini merupakan indikasi, bahwa wanita tersebut telah nusyuz kepada suaminya.

Teriakan, meninggikan suara, ucapan culas dan kata-kata kotor merupakan aib yang besar bagi siapapun, apalagi jika itu keluar dari mulut seorang wanita. Islam telah mengajarkan hukum, akhlak dan adab berbicara dengan sesama manusia, baik Muslim maupun non-Muslim pada level yang tinggi, dengan lemah-lembut dan kasih sayang. Ini tampak dalam pilihan kata dan ungkapan yang digunakan. Bahkan ini menjadi indikasi kepribadian seorang Muslim.

Karena itu, jika seorang istri berani berteriak, meninggikan suara, mengucapkan kata-kata culas dan kotor kepada suaminya, maka ini merupakan aib yang besar. Jika ini terjadi maka dia sudah bisa disebut melakukan tindakan nusyuz. Bahkan dalam Islam, ini disebut sebagai kejahatan yang disepadankan dengan zina. Nabi saw. pun menyebut maksiat perempuan tersebut sepadan dengan maksiat seribu orang durjana. Nabi saw. bersabda:

إِنَّ فُجُوْرَ الْمَرْأَةِ اْلفَاجِرَةِ كَفُجُوْرِ أَلْفٍ فَاجِرٍ وَإِنَّ بِرَّ الْمَرْأَةِ الْمُؤْمِنَةِ كَعَمَلِ سَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا

Sungguh, maksiat perempuan yang durjana sepadan dengan maksiat seribu orang durjana, dan ketaatan perempuan Mukminah sepadan dengan perbuatan tujuh puluh orang jujur.

Selain ancaman azab yang pedih di akhirat, wanita yang melakukan nusyuz juga diancam dengan sanksi di dunia. Seorang suami yang menghadapi istrinya melakukan nusyuz bisa mengambil sejumlah tindakan: (1) memberi nasihat, dengan mengingatkan istrinya akan dosa besar (kabair) dari tindakannya serta ancaman azab yang pedih di akhirat; (2) jika tetap bebal, maka pisah ranjang; (3) jika tetap bebal, maka bisa dipukul dengan pukulan yang tidak membekas, pada bagian belakang tubuhnya. Allah SWT berfirman:

وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Para wanita yang kalian khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, serta pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar (QS an-Nisa’ [4]: 34).

Selama istrinya melakukan nusyuz, hak nafkahnya pun dicabut, dan tidak wajib diberikan oleh suaminya. Selama itu pula, suaminya bisa bersabar dalam menghadapi tindakan nusyuz dan keji istrinya, meski ini tidak harus (wajib). Jika suaminya memilih bertahan dan bersabar, maka dia akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah SWT. Dalam hal ini, hukumnya mandub (sunnah) selama dia mampu menghadapinya, dan menganggapnya sebagai musibah dan bala’ yang sengaja diberikan Allah kepada hamba-Nya dalam rangka menguji keimanannya. Bersabar menghadapi bala’ dan musibah akan bisa menghapus dosa-dosanya. Nabi saw. bersabda:

مَا يَزَالُ اْلبَلاَء بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى الله وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَ ةٌ. [رواه الترمذي]

Tidaklah bala’ selalu menimpa orang Mukmin dan Mukminah mengenai diri, anak dan hartanya, kecuali dia akan menghadap Allah tanpa dosa (HR at-Tirmidzi).

Inilah solusi yang telah diberikan oleh syariah. Hanya saja, jika langkah-langkah tersebut masih tidak membuat istrinya jera dan berubah, maka menurut Syaikh Yusuf Ba’darani, sebagai langkah terakhir, suaminya boleh menceraikannya. Perlu dicatat, bahwa perceraian dalam konteks ini sebenarnya bukan merupakan solusi, sekalipun hukumnya mubah.

Perlu dicatat, keluarga yang baik adalah keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang. Ini harus diperhatikan dalam hubungan suami-istri. Kepemimpinan suami terhadap istrinya adalah kepemimpinan yang didasarkan pada cinta dan persahabatan, bukan hubungan kekuasaan. Teladan kita, Nabi Muhammad saw. memberikan pelajaran yang berharga kepada kita tentang bagaimana kehidupan keluarga yang bahagia. Keluarga beliau pun pernah menghadapi masalah, sebagaimana masalah yang dihadapi oleh keluarga lain, tetapi semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Itulah yang harus diteladani.

Yang terpenting, dalam membangun kehidupan rumah tangga, kita tidak boleh berhenti belajar. Dengan begitu, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, termasuk istri yang nusyuz. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

Setelah kita mengetahui apa saja kewajiban istri, begitu pula kewajiban suami, barangkali ketika menjalani rumah tangga sering ada cek-cok, masalah, dan keributan. Sampai-sampai istri berbuat nusyuz atau melakukan pembangkangan. Terutama karena tidak memperhatikan kewajiban masing-masing dan seringnya menuntut hak. Akhirnya keributan pun terjadi. Islam sudah mengetahui akan terjadi masalah semacam ini dan Islam berusaha memberikan solusi terbaik, supaya rumah tangga tetap utuh. Jangan sampai istri berbuat melampaui batas, begitu pula suami ketika menyikapi istri.
Apa itu Nusyuz?

Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar.

Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284). Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya. Silakan merujuk kembali pada bahasan kewajiban istri.

Hukum Nusyuz

Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang dimaksud disebutkan dalam ayat,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Mengobati Istri yang Nusyuz

Jika wanita terus bermuka masam di hadapan suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri; berkata dengan kata kasar, padahal suami sudah berusaha untuk lemah lembut; atau ada nusyuz yang lebih terang-terangan seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah tanpa izin suami, menolak bersafar bersama suami, maka hendaklah suami menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Urutannya dimulai dari hal berikut ini:

1. Memberi nasehat

Hendaklah suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya. Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya menasehati istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.

Ancaman-ancaman mengenai istri yang durhaka telah disebutkan dalam bahasan kewajiban istri.

Jika istri telah menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala berfirman,

فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).

Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.

2. Melakukan hajr

Hajr artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat,

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ

“Dan hajarlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).

Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:

Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
Pisah ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).

Cara manakah yang kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri ketika hajr.

Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah nusyuz.

Namun jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di luar rumah selama sebulan.

Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal.

Berapa lama masa hajr?

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat bulan. Namun yang lebih tepat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah bahwa masa hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz). Karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya secara mutlak dan tidak dibatasi.

Namun jumhur ulama berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada istri, maka maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ

“Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).

Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.

3. Memukul istri

Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat. Namun hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:

a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas

Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).

Jika seorang suami memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik. Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.

b. Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ

“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” (HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).

c. Tidak boleh memukul istri di wajah

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ

“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inihasan shahih).

‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

d. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.

e. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman,

وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Mudah-mudahan Allah memudahkan untuk membahas hal ini. Semoga Allah memberi kemudahan demi kemudahan.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

www.familyrumaday.blogspot.com

Hukum Istri Membentak Suami

Hukum Istri Membentak Suami


Asswb..pak ustad mau tanya apa kah boleh seorang istri menyentak atau bersuara keras kepada suami jika suami itu salah? berdosa ga? 

JAWAB: Wa’alaikum salam wr. Wb. Tidak boleh. Suami adalah orang yang paling harus ditaati dan dihormati sorang istri. Rasulullah Saw menunjukkan betapa tinggi posisi suami bagi istri dengan sabdanya:
“Seandai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri utk sujud kepada suaminya.” (HR Abu Daud, Al-Hakim, At-Tirmidzi).

“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya…” (HR. Ahmad).

Sabda Nabi Muhammad SAW. “Dan sebaik-baik istri adalah yang taat kepada suaminya, bijaksana, berketurunan, sedikit bicara, tidak suka membicarakan sesuatu yang tidak berguna, tidak cerewet dan tidak suka bersuara hingar-bingar serta setia kepada suaminya.

Jika suami berbuat salah, sang istri mengingatkannya dengan baik, lemah lembut, tidak membentak (bersuara keras), dan tidak menyinggung perasaannya. Demikian pula sebaliknya.

Sikap kasar istri terhadap suami –dan sebaliknya– menandakan keburukan akhlak. “Sebaik-baiknya wanita — bagi suami — ialah yang menyenangkan ketika dilihat, patuh ketika diperintah, dan tidak menentang suaminya baik dalam hatinya dan tidak membelanjakan (menggunakan) hartanya kepada perkara yang dibenci suaminya” (H.R. Ahmad, An-Nasa-i , dan Al-Hakim).

Seorang suami harus berusaha menasihati istrinya. Kalau dibiarkan, dampaknya sangat tidak baik bagi suami dan anak-anak. Wallahu a’lam.*

www.familyrumaday.blogspot.com 

20 Perilaku Durhaka Istri Terhadap Suami

20 Perilaku Durhaka Istri Terhadap Suami


Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab perilaku durhaka istri terhadap suami, antara lain :
  1. Kedudukan sosial istri lebih lebih tinggi daripada kedudukan suami,
  2. Istri lebih kaya dari suami,
  3. Istri lebih pandai dari suami,
  4. Watak istri lebih keras dari suami,
  5. Istri berasal dari lingkungan budaya yang menempatkan perempuan lebiih berkuasa daripada suami,
  6. Istri tidak mengerti tuntunan agama yang menempatkan istri dan suami pada ketentuan yang sebenarnya.
Adapun 20 perilaku durhaka istri terhadap suami adalah sebagai berikut :

1. Mengabaikan Wewenang Suami.

Di dalam rumah tangga, istri adalah orang yang berada di bawah perintah suami. Istri bertugas melaksanakan perintah-perintah suami yang berlaku dalam rumah tangganya. Rasulullah menggambarkan seandainya seorang suami memerintahkan suatu pekerjaan berupa memindahkan bukit merah ke bukit putih atau sebaliknya, maka tiada pilihan bagi istrinya selain melaksanakan perintah suaminya.

2. Menentang Perintah Suami.

Di dalam rumah tangga, perintah yang harus dilaksanakan istri adalah perintah suami. Begitu juga larangan yang harus dilaksanakan istri adalah larangan suaminya.
Sabda Rasulullah : " Tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya". (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Hadits tersebut tidak serta merta menempatkan kedudukan suami sederaja dengan Tuhan, tetapi hanya menerangkan bahwa jika hak suami untuk ditaati isstrinya yang sesuai dengan ketentuan Allah itu dilanggar oleh istrinya, ini berarti sama dengan istri melanggar perintah Allah SWT.

3. Enggan Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami.

Perkawinan diatur oleh syari'at Islam untuk memberikan jalan yang halal bagi suami dan istri untuk melakukan hubungan seksual atau penyaluran dorongan biologis. Dengan demikian manusia dapat melakukan regenerasi keturunan dengan cara yang diridlai Allah SWT.
Karena itu, Islam menegaskan bahwasanya istri yang menolak ajakan suaminya berarti membuka pintu laknat terhadap dirinya.

4. Tidak Mau menemani Suami Tidur.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda : " ... Bila seorang istri semalaman tidur terpisah dari ranjang suaminya, maka malaikat melaknatnya sampai Shubuh."

Bila istri ingin tidur sendiri, sedang suaminya berada di rumah pada malam harinya, maka ia harus meminta ijin terlebih dahulu pada suaminya.

5. Memberatkan Beban Belanja Suami.

Allah SWT telah menegaskan bahwa setiap suami bertanggung jawab memberi nafkah istrinya sesuai dengan kemampuan. Istri yang menyadari bahwa suaminya miskin tidak dibenarkan menuntut belanja dari suaminya hanya mempertimbangkan kebutuhannya sendiri sehingga memberatkan suaminya.

6. Tidak Mau Bersolek Untuk Suaminya.
Para istri diperintahkan untuk berkhidmat pada suaminya, termasuk mengurus dirinya sendiri dengan berhias dan berdandan sehingga dapat menyenangkan hati suaminya dan menimbulkan gairah dalam hidup bersama dirinya.

7. Merusak kehidupan Agama Suami.
Istri diperintahkan untuk membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama, sedangkan suami diperintahkan untuk membimbing istri menjalankan agamanya dengan baik. Karena itu, kalau istri tidak mau membatu suami menegakkan agama, apalagi merusak iman dan akhlak agama suami, sudah tentu ia menjerumuskan suaminya ke dalam neraka.

8. Mengenyampingkan Kepentingan Suami

Dari Aisyah ra, ujarnya : saya bertanya kepada Rasulullah SAW . : " Siapakah orang yang mempunyai hak paling besar terhadap seorang wanita?" Sabdanya : " Suaminya". Saya bertanya : " Siapakah orang yang paling besar haknya terhadap seorang lelaki. " Jawabnya : "Ibunya". (HR.Bazaar dan Hakim; Hadits hasan)

Jelaslah Hadits di atas bahwa kepentingan suami harus lebih didahulukan oleh seorang istri daripada kepentingan ibu kandungnya sesndiri.

9. Keluar Rumah Tanpa Izin Suami.

Istri ditetapkan oleh Islam menjadi wakil suami dalam mengurus rumah tangga. Karena itu bilamana ia keluar meninggalkan rumah, maka dengan sendirinya ia harus lebih dulu mendapatkan izin suaminya. Bila ia tidak minta izin dan keluar rumah dengan kemauannya sendiri, maka ia telah melanggar kewajibannya terhadap suami, sedangkan melanggar kewajiban berarti durhaka terhadap suaminya.

10. Melarikan Diri Dari Rumah Suami

Rasulullah saw bersabda : "Dua golongan yang sholatnya tidak bermanfaat bagi dirinya yaitu hamba yang melarikan diri dari rumah tuannya sampai ia pulang; dan istri yang melarikan diri dari rumah suaminya sampai ia kembali." (HR. Hakim, dari Ibnu 'Umar)

11. Menerima Tamu Laki-laki Yang Tidak Disukai Suami.

Dalam sebuah Hadits, Rasulullah telah menegaskan bahwa seorang istri diwajibkan memenuhi hak-hak suaminya. Diantaranya yaitu :
a. Tidak mempersilakan siapapun yang tidak disenangi suaminya untuk menjamah tempat tidurnya.
b. Tidak mengizinkan tamu masuk bila yang bersangkutan tidak disukai oleh suaminya.
(HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, Hadits hasan shahih)

12. Tidak Menolak Jamahan Lelaki Lain.

".... maka wanita-wanita yang shalih itu ialah yang taat lagi memelihara (dirinya dan harta suaminya) dikala suaminya tidak ada sebagaimana Allah telah memeliharanya..." (QS. An-Nisaa' (4) ayat 34)

Rasulullah menjelaskan bahwa seorang istri yang membiarkan dirinya dijamah lelaki lain boleh diceraikan. Hal itu menunjukan bahwa perbuatan istri tersebut adalah durhaka terhadap suaminya.

13. Tidak Mau merawat Ketika Suami Sakit.

Bila seorang istri menolak merawat suami yang sakit dengan alasan sibuk kerja atau tidak ada waktu karena merawat anak, maka ia telah melakukan tindakan yang tidak benar.

14. Puasa Sunnah Tanpa Izin Saat Suami Di Rumah.

Dari Abu Harairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda: " Seorang istri tidak halal berpuasa ketika suami ada di rumah tanpa izinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)

15. Menceritakan Seluk Beluk Fisik Wanita Lain Kepada Suami.

Dari Ibnu Mas'ud, ujarnya : Rasulullah saw. bersabda: "Seorang wanita tidak boleh bergaul dengan wanita lain, kemudian menceritakan kepada suaminya keadaan wanita itu, sehingga suaminya seolah-olah melihat keadaan wanita tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim)

16. Menolak Kedatangan Suami Bergilir Kepadanya.

Seorang istri yang dimadu, tetap mempunyai kewajiban untuk mentaati perintahnya, menyenangkan hatinya, berbhakti dan selalu berperilaku baik kepada suaminya ketika ia datang bergilir.

17. Mentaati Perintah Orang Lain Di Rumah Suaminya.
18. Menyuruh Suami Menceraikan Madunya

19. Minta Cerai Tanpa Alasan Yang Sah.

20. Mengambil Harta Suami Tanpa Izinnya.
 
www.familyrumaday.blogspot.com

Sabtu, 10 Januari 2015

Hikmah Mandi Wajib (Janabat)

Hikmah Mandi Wajib (Janabat)


Setelah suami istri berhubungan atau seseorang keluar air mani/sperma, diwajibkan baginya untuk mandi janabat. Ada orang yang pernah bertanya kepada Ibnul Qayyim Al Jauziyah, mengapa Allah mewajibkan mandi setelah keluar mani dan tidak mewajibkannya setelah keluar air seni padahal tempat keluarnya sama?
Beliau kemudian menjelaskan, “Ini termasuk bagian dari keagungan dan keindahan syariat Islam yang penuh rahmat, hikmah dan maslahah. Karena air mani keluarnya dari sari pati seluruh tubuh, maka pengaruh keluarnya pun terasa lebih besar daripada buang air. Mandi setelah keluarnya mani memiliki banyak manfaat bagi tubuh, hati dan ruh; berupa kembalinya kesegaran dan keceriaan setelah fisik melakukan aktifitas biologis yang melelahkan. Hikmah ini dapat dirasakan oleh seluruh orang yang memiliki perasaan. Karenanya Abu Dzar Al Ghifari mengatakan setelah mandi janabat: ‘Aku seakan menemukan kembali tenagaku yang hilang.’”
Rahasia lainnya dari aspek kesehatan ialah bahwa ia bisa menghilangkan bau tidak enak yang berbahaya bagi tubuh wanita dan suami yang menyetubuhinya. Seluruh kotoran dan penyebabnya akan lenyap seketika dengan mandi.
Dalam Fatawa Mu’ashirah, Syaikh Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa mandi adalah ibadah yang ditetapkan Allah. Ibadah haruslah dikerjakan sesuai syariatNya baik diketahui hikmahnya atau tidak. Beliau kemudian menjelaskan hikmah mandi jinabat bahwa banyak dokter yang menyatakan bahwa mandi setelah melakukan hubungan biologis dapat mengembalikan kekuatan tubuh dan mengembalikan tenaga yang hilang. Mandi sangat bermanfaat bagi tubuh dan jiwa. Sebaliknya, meninggalkannya dapat menimbulkan madharat.
Syaikh Ali Ahmad Al Jurjawi, direktur Asosiasi Riset Ilmiah Universitas Al Azhar, dalam bukunya Hikmatut Tasyri wa Falsafatuh menjelaskan, mandi janabat akan memulihkan kekuatan tubuh yang hilang akibat keluarnya mani. Di samping itu, mandi janabat bisa menghilangkan bau tidak enak dari tubuh. Seluruh kotoran dan penyebab bau tersebut akan lenyap seketika dengan mandi.
Mengenai mengapa buang air tidak diwajibkan mandi, karena buang air merupakan aktifitas yag sering berulang sehingga sangat tepat ketika Allah mensyariatkan istinja’ untuk membersihkan najisnya dan mensyariatkan wudhu untuk mensucikan diri dari hadats, tanpa wajib mandi.
Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/bersamadakwah]

www.familyrumaday.blogspot.com

Jumat, 09 Januari 2015

Hikmah Larangan Kawin Sedarah, 5.000 Orang Ini Menderita Alzheimer

Hikmah Larangan Kawin Sedarah, 5.000 Orang Ini Menderita Alzheimer


Ada banyak ajaran Islam yang baru diketahui hikmahnya beberapa abad kemudian. Ada banyak hal yang dilarang oleh Islam, ternyata terbukti bahayanya secara ilmiah di abad modern. Salah satunya, larangan kawin sedarah.
Larangan pernikahan sedarah difirmankan Allah dalam surat An Nisa’ ayat 23:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu perempuan, saudara-saudara perempuan, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak wanita dari saudara-saudara laki-lakimu, anak-anak wanita dari saudara-saudara perempuanmu…” (QS. An Nisa’ : 23)
Ketika menjelaskan surat An Nisa’ ayat 23 yang menerangkan mahram (perempuan-perempuan yang haram dinikahi), Ibnu Katsir dalam tafsirnya hanya menjelaskan siapa saja mereka yang diharamkan itu. Sayyid Qutb dalam Fi Zilalil Qur’an juga tidak menjelaskan hikmahnya. Ia hanya mengisyaratkan, “Sebab-sebab keharamannya itu banyak, demikian pula kelas-kelas mahram menurut bermacam-macam umat.”
Lebih lanjut, Sayyid Qutb merinci bahwa wanita yang haram dinikahi karena nasab (kekerabatan) ada empat tingkatan.
Pertama, pokok ke atas. Yakni ibu, nenek dan seterusnya ke atas, baik dari jalur ibu maupun dari jalur bapak.
Kedua, keturunan ke bawah. Yakni anak, cucu dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur anak laki-alki maupun dari jalur anak perempuan.
Ketiga, keturunan dari orang tua terus ke bawah. Yakni saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan, dan seterusnya.
Keempat, keturunan langsung dari kakek-neneknya. Yakni saudara perempuan (bibi) dari ayah, saudara perempuan (bibi) dari ibu, bibinya ayah dan bibinya ibu.
Di abad modern diketahui, perkawinan sedarah yang jauh-jauh hari telah dilarang Al Qur’an, ternyata memiliki resiko kerusakan genetika dan reproduksi. Gen pembawa sifat yang buruk lebih besar muncul pada anak dari perkawinan sedarah dibanding anak dari perkawinan tidak sedarah.
Baru-baru ini, Tribunnews mengutip New York Time melaporkan sekitar 5.000 orang di desa Yarumal pegunungan Andes Columbia terancam penyakit alzheimer. Mereka mengalami “mutasi genetik” yang dipicu oleh perkawinan sedarah sekerabat di antara mereka.
“Melihat anak-anak saya menderita seperti ini sungguh mengerikan, ini mengerikan,” kata Cuartas (82) yang ketiga anaknya menderita alzheimer, “Bahkan saya pun tidak mengharapkan terjadi hal seperti ini pada seekor anjing gila. Ini sungguh penyakit yang mengerikan yang pernah ada di muka bumi.”
Menurut Kepala program neuroscience dari University of Antioquia, dr. Lopera, resiko mutasi genetik pada perkawinan sedarah mencapai 50% dan biasanya mulai muncul di usia 32 tahun, seperti yang dialami ketiga anak Cuartas dan ribuan penduduk Yarumal lainnya.
Sebelumnya, para peneliti bahkan menemukan mutasi genetika terjadi pada gorila yang melakukan perkawinan sedarah. Snowflake, seekor gorila di Kebun Binatang Barcelona yang memiliki kulit dan rambut di sekujur tubuh berwarna putih, ternyata adalah hasil perkawinan sedarah antara paman dan keponakan. [Muchlisin BK/bersamadakwah]


www.familyrumaday.blogspot.com