Istri Nusyuz dan Bertindak Keji
Soal:
Apa batasan nusyuz? Bagaimana ciri-cirinya? Apa tindakan yang harus dilakukan suami saat istrinya melakukan nusyuz?
Jawab:
Allah SWT telah mengharamkan nusyuz yang dilakukan oleh istri, termasuk
perbuatan keji yang lain, dengan keharaman yang tegas. Allah SWT juga
telah mengancam tindakan tersebut dengan neraka Jahannam, serta siksa
yang pedih di akhirat. Allah SWT berfirman:
وَاللاتِي يَأْتِينَ
الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً
مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى
يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا
(Terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi di antara kalian (yang menyaksikannya). Kemudian
apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka
(wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya atau
sampai Allah memberikan jalan yang lain kepada mereka (QS an-Nisa’ [4]:
15).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ
مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewariskan kepada
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan
kepada mereka, kecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata
(QS an-Nisa’ [4]: 19).
Konotasi kata fakhisyah (keji) dalam nas
yang pertama adalah zina; sedangkan yang kedua adalah durkaha kepada
suami, bermulut culas dan berani kepada suami. Fakhisyah Mubayyinah
(perbuatan keji yang nyata) adalah kemaksiatan yang nyata, yang menurut
Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, ad-Dhahak dan Qatadah, adalah al-bughdhu wa
an-nusyuz. Nusyuz merupakan bentuk maksiat istri kepada suaminya.
Dalam nasyrah Soal-Jawab Hizbut Tahrir (2 Muharram 1392 H/17 Februari
1972 M) dinyatakan, bahwa nusyuz adalah maksiat istri kepada suaminya
dalam konteks kehidupan khusus (di rumah) dan hubungan suami-istri.
Contoh: jika suami memerintahkan istrinya menyiapkan makanan, menutup
aurat di depan pria lain; memerintahkan shalat, puasa, memakai pakaian
tertentu di rumah, tidak membuka jendela, tidak menjawab orang yang
mengetuk pintu, tidak duduk di teras, atau mencucikan baju suaminya,
tidak keluar rumah, dan sebagainya yang terkait dengan kehidupan khusus
atau kehidupan suami-istri, maka dia wajib menaati suaminya. Jika dia
maksiat kepada suaminya dan tidak menaati suaminya, maka dia telah
melakukan tindakan nusyuz, dan kepada dirinya berlaku hukum nusyuz.
Di luar itu tidak termasuk dalam kategori nusyuz. Misalnya, perintah
suami mengikut aksi, menghadiri seminar, mengenakan jilbab di luar
rumah, larangan berbisnis, larangan pergi haji atau umrah, maka istri
bisa menaati perintah/larangan suaminya, bisa juga tidak. Jika tidak
menaati suaminya, maka tindakan istri dalam konteks kehidupan umum, dan
bukan kehidupan suami-istri ini tidak termasuk dalam ketori nusyuz.
Inilah batasan nusyuz istri kepada suaminya.
Jadi, nusyuz memang
bentuk kemaksiatan istri kepada suami. Indikasinya bisa berupa tindakan,
bisa juga dalam bentuk perkataan. Jika seorang istri meninggikan
suaranya kepada suami, tidak menjawab ketika dipanggil, tidak segera
melaksanakan perintahnya ketika diperintah, tidak patuh ketika
dipanggil, tidak memenuhi keinginannya ketika diajak, serta menggunakan
kata-kata kasar, culas dan berani kepada suaminya; maka ini merupakan
indikasi, bahwa wanita tersebut telah nusyuz kepada suaminya.
Teriakan, meninggikan suara, ucapan culas dan kata-kata kotor merupakan
aib yang besar bagi siapapun, apalagi jika itu keluar dari mulut seorang
wanita. Islam telah mengajarkan hukum, akhlak dan adab berbicara dengan
sesama manusia, baik Muslim maupun non-Muslim pada level yang tinggi,
dengan lemah-lembut dan kasih sayang. Ini tampak dalam pilihan kata dan
ungkapan yang digunakan. Bahkan ini menjadi indikasi kepribadian seorang
Muslim.
Karena itu, jika seorang istri berani berteriak,
meninggikan suara, mengucapkan kata-kata culas dan kotor kepada
suaminya, maka ini merupakan aib yang besar. Jika ini terjadi maka dia
sudah bisa disebut melakukan tindakan nusyuz. Bahkan dalam Islam, ini
disebut sebagai kejahatan yang disepadankan dengan zina. Nabi saw. pun
menyebut maksiat perempuan tersebut sepadan dengan maksiat seribu orang
durjana. Nabi saw. bersabda:
إِنَّ فُجُوْرَ الْمَرْأَةِ
اْلفَاجِرَةِ كَفُجُوْرِ أَلْفٍ فَاجِرٍ وَإِنَّ بِرَّ الْمَرْأَةِ
الْمُؤْمِنَةِ كَعَمَلِ سَبْعِيْنَ صِدِّيْقًا
Sungguh, maksiat
perempuan yang durjana sepadan dengan maksiat seribu orang durjana, dan
ketaatan perempuan Mukminah sepadan dengan perbuatan tujuh puluh orang
jujur.
Selain ancaman azab yang pedih di akhirat, wanita yang
melakukan nusyuz juga diancam dengan sanksi di dunia. Seorang suami yang
menghadapi istrinya melakukan nusyuz bisa mengambil sejumlah tindakan:
(1) memberi nasihat, dengan mengingatkan istrinya akan dosa besar
(kabair) dari tindakannya serta ancaman azab yang pedih di akhirat; (2)
jika tetap bebal, maka pisah ranjang; (3) jika tetap bebal, maka bisa
dipukul dengan pukulan yang tidak membekas, pada bagian belakang
tubuhnya. Allah SWT berfirman:
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا
Para wanita yang kalian khawatirkan nusyuz-nya,
maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,
serta pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka
janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Selama istrinya melakukan nusyuz, hak nafkahnya pun dicabut, dan tidak
wajib diberikan oleh suaminya. Selama itu pula, suaminya bisa bersabar
dalam menghadapi tindakan nusyuz dan keji istrinya, meski ini tidak
harus (wajib). Jika suaminya memilih bertahan dan bersabar, maka dia
akan mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dari Allah SWT. Dalam hal
ini, hukumnya mandub (sunnah) selama dia mampu menghadapinya, dan
menganggapnya sebagai musibah dan bala’ yang sengaja diberikan Allah
kepada hamba-Nya dalam rangka menguji keimanannya. Bersabar menghadapi
bala’ dan musibah akan bisa menghapus dosa-dosanya. Nabi saw. bersabda:
مَا يَزَالُ اْلبَلاَء بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ
وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى الله وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَ ةٌ.
[رواه الترمذي]
Tidaklah bala’ selalu menimpa orang Mukmin dan
Mukminah mengenai diri, anak dan hartanya, kecuali dia akan menghadap
Allah tanpa dosa (HR at-Tirmidzi).
Inilah solusi yang telah
diberikan oleh syariah. Hanya saja, jika langkah-langkah tersebut masih
tidak membuat istrinya jera dan berubah, maka menurut Syaikh Yusuf
Ba’darani, sebagai langkah terakhir, suaminya boleh menceraikannya.
Perlu dicatat, bahwa perceraian dalam konteks ini sebenarnya bukan
merupakan solusi, sekalipun hukumnya mubah.
Perlu dicatat,
keluarga yang baik adalah keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang.
Ini harus diperhatikan dalam hubungan suami-istri. Kepemimpinan suami
terhadap istrinya adalah kepemimpinan yang didasarkan pada cinta dan
persahabatan, bukan hubungan kekuasaan. Teladan kita, Nabi Muhammad saw.
memberikan pelajaran yang berharga kepada kita tentang bagaimana
kehidupan keluarga yang bahagia. Keluarga beliau pun pernah menghadapi
masalah, sebagaimana masalah yang dihadapi oleh keluarga lain, tetapi
semuanya bisa diselesaikan dengan baik. Itulah yang harus diteladani.
Yang terpenting, dalam membangun kehidupan rumah tangga, kita tidak
boleh berhenti belajar. Dengan begitu, tidak ada masalah yang tidak bisa
diselesaikan, termasuk istri yang nusyuz. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz
Abdurrahman]
Setelah kita mengetahui apa saja kewajiban istri,
begitu pula kewajiban suami, barangkali ketika menjalani rumah tangga
sering ada cek-cok, masalah, dan keributan. Sampai-sampai istri berbuat
nusyuz atau melakukan pembangkangan. Terutama karena tidak memperhatikan
kewajiban masing-masing dan seringnya menuntut hak. Akhirnya keributan
pun terjadi. Islam sudah mengetahui akan terjadi masalah semacam ini dan
Islam berusaha memberikan solusi terbaik, supaya rumah tangga tetap
utuh. Jangan sampai istri berbuat melampaui batas, begitu pula suami
ketika menyikapi istri.
Apa itu Nusyuz?
Nusyuz secara
bahasa berarti tempat yang tinggi (menonjol). Sedangkan secara istilah
nusyuz berarti istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada
suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah
suami, menentangnya dan membencinya” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4:
24).
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang benar.
Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami.
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284). Ringkasnya, nusyuz adalah istri
tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya. Silakan merujuk kembali
pada bahasan kewajiban istri.
Hukum Nusyuz
Nusyuz wanita
pada suami adalah haram. Karena wanita nusyuz yang tidak lagi
mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah
hukuman ini diberikan melainkan karena melakukan yang haram atau
meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang dimaksud disebutkan dalam
ayat,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ
فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Mengobati Istri yang Nusyuz
Jika wanita terus bermuka masam di hadapan suami, padahal suami sudah
berusaha berwajah seri; berkata dengan kata kasar, padahal suami sudah
berusaha untuk lemah lembut; atau ada nusyuz yang lebih terang-terangan
seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah tanpa
izin suami, menolak bersafar bersama suami, maka hendaklah suami
menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh
Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Urutannya
dimulai dari hal berikut ini:
1. Memberi nasehat
Hendaklah
suami menasehati istri dengan lemah lembut. Suami menasehati istri
dengan mengingatkan bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat
pada suami dan tidak menyelisihinya. Ia pun mendorong istri untuk taat
pada suami dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya.
Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang taat, menjaga diri meski
di saat suami tidak ada di sisinya. Kemudian suami juga hendaknya
menasehati istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang
mendurhakai suami.
Ancaman-ancaman mengenai istri yang durhaka telah disebutkan dalam bahasan kewajiban istri.
Jika istri telah menerima nasehat tersebut dan telah berubah, maka
tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena Allah Ta’ala
berfirman,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil, maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
2. Melakukan hajr
Hajr artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak
berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat,
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan hajarlah mereka di tempat tidur mereka” (QS. An Nisa’: 34).
Mengenai cara menghajr, para ulama memberikan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:
Tidak berhubungan intim terutama pada saat istri butuh
Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
Pisah ranjang (Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
Cara manakah yang kita pilih? Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan lebih bermanfaat bagi istri ketika hajr.
Namun catatan penting yang perlu diperhatikan, tidak boleh seorang
suami memboikot istri melainkan di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau ditanya mengenai kewajiban
suami pada istri oleh Mu’awiyah Al Qusyairi,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula
menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr selain di rumah” (HR.
Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih). Karena jika seorang suami melakukan hajr di hadapan orang lain,
maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah bertambah
nusyuz.
Namun jika melakukan hajr untuk istri di luar rumah itu
terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan hajr terhadap istri-istri beliau di
luar rumah selama sebulan.
Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di
sini jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat
berpengaruh terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek dan rusak
atau menjadi anak yang broken home yang terkenal amburadul dan nakal.
Berapa lama masa hajr?
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat
bulan. Namun yang lebih tepat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama
dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah bahwa masa hajr adalah
sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz). Karena dalam ayat hanya
disebutkan secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya secara mutlak dan
tidak dibatasi.
Namun jumhur ulama berpandangan bahwa jika hajr
yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada istri, maka maksimal
hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena
suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak
mengajak bicara) lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim
no. 2558).
Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini, maka ada langkah berikutnya.
3. Memukul istri
Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan
hajr tidak lagi bermanfaat. Namun hendaklah seorang suami memperhatikan
aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:
a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas
Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا
تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ
مُبَرِّحٍ
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh
permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai.
Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang
tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Jika seorang suami memukul
istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik.
Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang,
memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak.
b.
Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat madzhab
Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah Al Anshori, ia
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari
aturan Allah” (HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).
c. Tidak boleh memukul istri di wajah
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no.
2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inihasan shahih).
‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ
قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ
إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah pernah
sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul
pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul
sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan
Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)
d. Yakin
bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak
berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.
e. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Demikian beberapa
solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas
tidaklah bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir.
Mudah-mudahan Allah memudahkan untuk membahas hal ini. Semoga Allah
memberi kemudahan demi kemudahan.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
www.familyrumaday.blogspot.com